{وَلَقَدْ
أَنزلْنَا إِلَيْكَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَمَا يَكْفُرُ بِهَا إِلا الْفَاسِقُونَ
(99) أَوَكُلَّمَا عَاهَدُوا عَهْدًا نَبَذَهُ فَرِيقٌ مِنْهُمْ بَلْ أَكْثَرُهُمْ
لَا يُؤْمِنُونَ (100) وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ
لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ
وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (101) وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو
الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ
الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ عَلَى
الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ
حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا
مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ
مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا
يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ
خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (102)
وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ
كَانُوا يَعْلَمُونَ (103) }
Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan
kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan
orang-orang yang fasik. Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan
setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya. Bahkan
sebagian besar dari mereka tidak beriman. Dan setelah datang kepada mereka
seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka,
sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke
belakangnya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).
Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal
Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang
kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut; sedangkan
keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan,
"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir"
Mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka
dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli
sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan
izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan
tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang
siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya
keuntungan di akhirat; dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan
sihir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa,
(niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah
adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.
Imam Abu Ja'far mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat-yang jelas..., hingga
akhir ayat, (Al-Baqarah: 99). Yakni sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu
—Muhammad— alamat-alamat yang jelas yang menunjukkan akan kenabianmu.
Tanda-tanda tersebut adalah terkandung di dalam Kitabullah (Al-Qur'an)
menyangkut rahasia ilmu-ilmu Yahudi dan rahasia-rahasia berita mereka yang
disimpan rapi oleh mereka. Juga mengandung berita kakek moyang mereka, berita
tentang apa yang terkandung di dalam kitab-kitab mereka yang hanya diketahui
oleh para rahib dan ulama mereka saja, dan hal-hal yang telah diubah oleh para
pendahulu dan generasi penerus mereka yang berani mengubah hukum-hukum yang ada
di dalam kitab Tauratnya. Maka Allah Swt. memperlihatkan hal tersebut kepada
Nabi-Nya, yakni Nabi Muhammad Saw. melalui kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan
kepadanya.
Maka sesungguhnya hal tersebut seharusnya merupakan tanda-tanda yang jelas
bagi orang yang menyadari keadaan dirinya dan tidak membiarkan dirinya termakan
oleh rasa dengki dan kesombongan yang membinasakannya. Mengingat setiap orang
yang memiliki fitrah yang sehat niscaya membenarkan semisal apa yang didatangkan
oleh Nabi Muhammad Saw., yaitu berupa ayat-ayat yang jelas. Bukti-bukti tersebut
mempunyai ciri khas dihasilkan oleh beliau Saw. tanpa melalui proses belajar
yang dituntutnya dari seorang manusia; tidak pula mengambil sesuatu dari
manusia, seperti yang disebutkan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan
dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
ayat-ayat yang jelas. (Al-Baqarah: 99)
Allah Swt. berfirman bahwa engkau membacakannya (Al-Qur'an) kepada mereka dan
memberitahukannya kepada mereka di setiap pagi dan petang di antara keduanya,
sedangkan di kalangan mereka engkau diketahui sebagai orang yang ummi (buta
huruf), tetapi engkau memberitahukan kepada mereka semua hal yang ada di
kalangan mereka sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Allah Swt. berfirman
kepada mereka yang di dalamnya terkandung pelajaran dan penjelasan, tetapi
sekaligus menjadi hujah terhadap mereka, seandainya mereka mengetahui.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu
Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa Ibnu Suria Al-Qatwaini berkata kepada Rasulullah Saw., "Hai
Muhammad, engkau tidak mendatangkan kepada kami sesuatu yang kami kenal, dan
Allah tidak menurunkan kepadamu suatu ayat pun yang jelas yang menyebabkan kami
mengikutimu." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya,
melainkan orang-orang yang fasik. (Al-Baqarah: 99)
Malik ibnu Saif (seorang Yahudi) mengatakan ketika Rasulullah Saw. telah
menjadi utusan Allah dan memperingatkan kepada mereka perjanjian yang diambil
oleh Allah atas diri mereka dan apa yang dijanji-kan Allah Swt. kepada mereka
sehubungan dengan perkara Nabi Muhammad Saw., "Allah tidak menjanjikan kepada
kami tentang Muhammad, dan Dia tidak mengambil janji apa pun atas diri kami."
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Patutkah (mereka ingkar kepada
ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka
melemparkannya (Al-Baqarah: 100)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Bahkan
sebagian besar dari mereka tidak beriman. (Al-Baqarah: 100) Memang benar,
tiada suatu perjanjian pun di muka bumi ini yang mereka lakukan melainkan mereka
pasti melanggar dan merusaknya. Mereka mengadakan perjanjian di hari ini, dan
besoknya mereka pasti merusaknya.
Menurut As-Saddi, makna la yu-minuna ialah 'mereka tidak beriman
dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.'.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Nabaza fariqum
minhum" bahwa perjanjian itu dirusak oleh segolongan orang dari kalangan
mereka.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal makna an-nabaz ialah membuang dan
melemparkan. Karena itu anak yang hilang disebut manbuz, yakni diambil
dari kata an-nabaz ini, dan disebut pula nabiz bagi buah kurma
serta buah anggur yang dimasukkan (dilemparkan) ke dalam air.
Sehubungan dengan pengertian ini Abul Aswad Ad-Du-ali mengatakan dalam
syairnya:
نَظَرْتُ
إِلَى عُنْوَانِهِ فَنَبَذْتُهُ ... كَنَبْذِكَ
نَعْلًا أَخْلَقَتْ مِنْ نِعَالِكَا
Ketika aku melihat alamat (tempat
tinggal)nya, maka aku langsung membuang (melemparkan)nya (jauh-jauh) sebagaimana
engkau lemparkan salah satu dari terompahmu yang sudah rusak.
Kaum yang disebut dalam ayat ini dicela oleh Allah Swt. karena mereka merusak
perjanjian mereka dengan Allah yang telah disebut sebelumnya, yaitu mereka
bersedia memegangnya dan mengamalkan-nya sesuai dengan apa yang sebenarnya.
Lebih ironisnya lagi mereka mengiringi hal tersebut dengan kedustaan terhadap
Rasul Saw. yang diutus kepada mereka, juga kepada seluruh umat manusia, padahal
perihal Rasul tersebut telah termaktub di dalam kitab mereka sifat-si-fat dan
ciri-ciri khasnya serta berita-beritanya; dan mereka diperintah-kan di dalamnya
agar mengikuti Rasul itu, mendukung, dan menolongnya. Sebagaimana yang
disebutkan di dalam firman-Nya:
الَّذِينَ
يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً
عِنْدَهُمْ فِي التَّوْراةِ وَالْإِنْجِيلِ
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka...,
hingga akhir ayat, (Al-A'raf: 157).
Sedangkan dalam surat ini disebutkan: Dan setelah datang kepada mereka
seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada
mereka..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 101).
Yakni segolongan dari kalangan mereka melemparkan kitab yang ada di tangan
mereka yang di dalamnya terkandung berita gembira kedatangan Nabi Muhammad Saw.
Di dalam ayat ini disebutkan wara-a zuhurihim, di belakang punggung
mereka, yakni mereka meninggalkannya seakan-akan mereka tidak mengetahui apa
isinya. Sebagai gantinya mereka memusatkan perhatiannya untuk mempelajari sihir
serta menjadi pengikutnya. Karena itu, mereka bermaksud mencelakakan Rasulullah
Saw. Lalu mereka menyihirnya melalui sisir, buntelan secarik kain, dan ketandan
kering pohon kurma yang disimpan di bawah batu di pinggir sumur Arwan. Orang
yang melakukan hal ini dari kalangan mereka adalah seorang lelaki yang dikenal
dengan nama Labid ibnul A'sam, semoga laknat Allah menimpa dirinya, dan semoga
Allah memburukkannya. Maka Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Rasulullah
Saw. dan menyembuhkannya serta menyelamatkannya dari sihir tersebut, seperti
yang dinyatakan di dalam kitab Sahihain secara panjang lebar dari Siti Aisyah
r.a. Ummul Mu’minin, yang hadisnya akan diketengahkan kemudian.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan setelah
datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang
ada pada mereka. (Al-Baqarah: 101) Ketika Nabi Muhammad Saw. datang kepada
mereka, mereka menentangnya dengan kitab Taurat dan mendebatnya, tetapi pada
akhirnya kitab Taurat sepaham dengan Al-Qur'an. Lalu mereka meninggalkan kitab
Taurat dan mengambil kitab Asif serta sihir Harut dan Marut, karena tidak
setuju dengan Al-Qur'an. Karena itu, pada akhir ayat disebutkan: seolah-olah
mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101)
Qatadah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Seolah-olah mereka
tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101) Sesungguhnya kaum yang bersangkutan
adalah orang-orang yang mengetahui (bahwa Al-Qur'an itu adalah kitab Allah),
tetapi mereka menjauhi pengetahuan mereka dan menyembunyikannya serta
mengingkarinya.
Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh
setan. (Al-Baqarah: 102) Tersebutlah bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman
terlepas dari tangannya, maka murtadlah segolongan jin dan manusia; mereka
mengikuti hawa nafsu mereka. Setelah mengembalikan kerajaan kepada Sulaiman,
maka orang-orang pun berjalan sesuai dengan hukum agama seperti semula.
Sesungguhnya Sulaiman dapat menemukan kitab-kitab mereka, lalu menguburnya di
bawah singgasananya; tidak lama kemudian Nabi Sulaiman a.s. meninggai dunia.
Akan tetapi, manusia dan jin dapat menemukan kitab-kitab tersebut setelah Nabi
Sulaiman wafat. Lalu mereka berkata, "Kitab inilah yang diturunkan oleh Allah
kepada Sulaiman, tetapi Sulaiman menyembunyikannya." Maka mereka mengambil kitab
tersebut dan menjadikannya sebagai agama. Lalu turunlah firman Allah Swt.:
Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang
membenarkan kitab yang ada pada mereka. (Al-Baqarah: 101), hingga akhir
ayat. Maka mereka mengikuti kemauan hawa nafsu mereka yang dibacakan oleh
setan-setan, yaitu alat-alat musik dan permainan serta segala sesuatu yang
melalaikan berzikir kepada Allah Swt.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Al-A'masy, dari
Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Asif
adalah juru tulis Nabi Sulaiman. Dia adalah orang yang mengetahui Ismul A'zam,
dan mencatat segala sesuatu atas izin Nabi Sulaiman, lalu Nabi Sulaiman mengubur
catatan tersebut di bawah singgasananya. Ketika Nabi Sulaiman wafat, catatan
tersebut dikeluarkan oleh setan-setan, lalu mereka menyisipkan catatan mengenai
sihir dan kekufuran di antara tiap dua barisnya. Mereka mengatakan, inilah yang
dahulu diamalkan oleh Sulaiman. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah
ada keterangan dari setan, maka orang-orang yang tidak mengerti mengafirkan
Sulaiman dan mencacimakinya, tetapi para ulama dari kalangan mereka hanya diam.
Orang-orang yang bodoh dari kalangan mereka terus-menerus mencaci maki Nabi
Sulaiman, hingga Allah Swt. menurunkan ayat berikut kepada Nabi Muhammad Saw.,
yaitu: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa
kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir),
padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah
yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Abus Sa'ib Salimah ibnu Junadah As-Sawa-i
menceritakan, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari
Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan riwayat
berikut: Tersebutlah bahwa Nabi Sulaiman apabila hendak memasuki kamar mandi
atau menggauli salah seorang istrinya, terlebih dahulu ia menyerahkan cincinnya
kepada pembantu pribadinya, yaitu seorang wanita. Ketika Allah hendak menguji
Nabi Sulaiman a.s. dengan ujian yang dikehendaki-Nya, maka di suatu hari
Sulaiman menyerahkan cincinnya kepada pembantunya. Lalu datanglah setan dalam
rupa Sulaiman dan berkata kepada pembantu Sulaiman, "Serahkanlah cincinku." Si
pembantu menyerahkan cincin itu kepadanya, dan ia segera memakainya. Ketika
setan memakainya, maka tunduklah semua setan, jin, dan manusia kepadanya. Ibnu
Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Sulaiman datang kepada pembantunya itu
dan berkata kepadanya, "Berikanlah cincinku kepadaku." Si pembantu berkata,
"Engkau dusta, engkau bukan Sulaiman." Maka sejak saat itu Nabi Sulaiman
mengetahui bahwa hal ini merupakan cobaan yang ditimpakan kepada dirinya. Ibnu
Abbas berkata bahwa di hari-hari (kekuasaannya itu) setan-setan menulis berbagai
macam kitab yang di dalamnya terkandung sihir dan kekufuran, lalu mereka
menguburnya di bawah singgasana Raja Sulaiman. (Setelah Sulaiman wafat) mereka
mengeluarkan kitab-kitab itu dan membacakannya di hadapan semua orang, lalu
mereka berkata, "Sesungguhnya dahulu Sulaiman dapat berkuasa atas manusia
melalui kitab-kitab ini." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu
semua orang berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Sulaiman dan
mengafirkannya. Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Saw., maka
diturunkan-Nyalah ayat berikut, yakni firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak
kafir (tidak melakukan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir
(mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah
menceritakan kepada kami Jarir, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Imran (yaitu
Al-Haris) yang menceritakan: Ketika kami berada di rumah Ibnu Abbas r.a.,
tiba-tiba datanglah seorang lelaki, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya, "Dari
manakah kamu?" Lelaki itu menjawab, "Dari negeri Irak. Ibnu Abbas bertanya,
"Dari bagian mana?" Lelaki menjawab, "Kufah." Ibnu Abbas bertanya, "Bagaimanakah
beritanya?" Lelaki menjawab, "Ketika aku meninggalkan mereka, mereka sedang
hangat membicarakan bahwa Ali r.a. berangkat menuju ke arah mereka (untuk
memerangi mereka)." Maka Ibnu Abbas merasa kaget dan mengatakan, "Tidak pantas
kamu katakan demikian, hanya orang yang tak berayah yang mengatakan demikian.
Seandainya kami percaya (dengan apa yang diberitakannya itu), pasti kami tidak
mau menikahi wanita-wanitanya, tidak pula membagikan harta warisannya. Ingatlah,
sesungguhnya aku akan menceritakan kepada kalian tentang jawaban yang
sebenarnya. Bahwa dahulu setan-setan mencuri-curi pendengaran di langit, lalu
seseorang dari mereka datang membawa kalimat hak yang telah didengarnya; tetapi
bila hendak ia sampaikan, maka ia mencampurinya dengan tujuh puluh (banyak)
kedustaan."
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa kalimat-kalimat tersebut sempat
memperoleh perhatian banyak orang hingga meresap ke dalam hati mereka. Maka
Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Nabi Sulaiman a.s., lalu Nabi Sulaiman
mengubur (catatan-catatan itu) di bawah kursi singgasananya. Tetapi setelah Nabi
Sulaiman wafat, setan jalanan bangkit, lalu berkata, "Maukah kalian aku
tunjukkan kepada kalian simpanan terlarang yang tiada simpanan seperti simpanan
itu? Ia berada di bawah kursi singgasananya." Lalu mereka mengeluarkannya, dan
setan itu berkata, "Ini ilmu sihir." Maka orang-orang menggandakan
catatan-catatan tersebut dari generasi ke generasi yang lain, hingga sisanya
adalah yang sekarang hangat dibicarakan oleh penduduk Irak. Lalu Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh
setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman
itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir),
hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir)..., hingga akhir
ayat, (Al-Baqarah: 102).
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abu Zakaria
Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus Salam, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Jarir
dengan lafaz yang sama.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan mereka
mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.
(Al-Baqarah: 102) Yang dimaksud dengan Mulki Sulaiman ialah di masa
kerajaan Nabi Sulaiman. Tersebutlah bahwa setan-setan sering naik ke langit,
lalu sampai pada suatu kedudukan yang darinya mereka dapat mencuri pendengaran.
Lalu mereka mencuri sebagian dari perkataan para malaikat tentang apa yang bakal
terjadi di bumi menyangkut perkara kematian, atau hal yang gaib atau suatu
kejadian. Kemudian setan-setan itu menyampaikan hal tersebut kepada
tukang-tukang tenung, lalu tukang-tukang tenung (juru ramal) menceritakan kepada
manusia hal tersebut, dan ternyata kejadiannya mereka jumpai seperti apa yang
dikatakan oleh para tukang tenung itu.
Setelah para juru ramal percaya kepada setan-setan tersebut, maka setan-setan
itu mulai berdusta kepada mereka dan memasukkan hal-hal yang lain ke dalam
berita yang dibawanya; mereka menambah tujuh puluh kalimat pada setiap
kalimatnya. Lalu orang-orang mencatat omongan itu ke dalam buku-buku hingga
tersiarlah di kalangan Bani Israil bahwa jin mengetahui hal yang gaib.
Kemudian Nabi Sulaiman mengirimkan utusannya kepada semua orang untuk menyita
buku-buku itu. Setelah terkumpul, semua buku dimasukkan ke dalam peti, lalu peti
itu dikuburnya di bawah kursi singgasananya. Tiada suatu setan pun yang berani
mendekat ke kursi tersebut melainkan ia pasti terbakar. Nabi Sulaiman berkata,
"Tidak sekali-kali aku mendengar seseorang mengatakan bahwa setan-setan itu
mengetahui hal yang gaib melainkan aku pasti menebas batang lehemya (sebagai
hukumannya)."
Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia dan semua ulama yang mengetahui perihal
Nabi Sulaiman telah tiada, lalu mereka diganti oleh generasi sesudahnya, maka
datanglah setan dalam bentuk seorang manusia. Setan itu mendatangi segolongan
kaum Bani Israil dan berkata kepada mereka, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada
suatu perbendaharaan yang tidak akan habis kalian makan untuk selama-lamanya?"
Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau." Setan berkata, "Galilah tanah di bawah
kursi singgasananya."
Setan pergi bersama mereka dan memperlihatkan tempat tersebut kepada mereka,
sedangkan dia sendiri berdiri di salah satu tempat yang agak jauh dari tempat
tersebut. Mereka berkata, "Mendekatlah kamu ke sini." Setan menjawab, "Tidak,
aku hanya di sini saja dekat dengan kalian. Tetapi jika kalian tidak
menemukannya, kalian boleh membunuhku."
Mereka menggali tempat tersebut dan akhirnya mereka menjumpai kitab-kitab
itu. Ketika mereka mengeluarkannya, setan berkata kepada mereka.”Sesungguhnya
Sulaiman dapat menguasai dan mengatur manusia, setan-setan, dan burung-burung
hanyalah melalui ilmu sihir ini." Setelah itu setan tersebut terbang dan pergi.
Maka mulai tersiarlah di kalangan manusia bahwa Sulaiman adalah ahli sihir, dan
orang-orang Bani Israil mengambil kitab-kitab itu. Ketika Nabi Muhammad Saw.
diutus oleh Allah, mereka mendebatnya dengan kitab-kitab tersebut, seperti yang
dijelaskan oleh firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan
sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).
(Al-Baqarah: 102)
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, sesungguhnya orang-orang Yahudi pernah
bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. di suatu masa mengenai hal-hal yang
terkandung di dalam kitab Taurat, Tiada suatu pertanyaan pun darinya yang mereka
ajukan melainkan Allah Swt. menurunkan wahyu kepada beliau apa yang dijadikan
senjata oleh beliau untuk membantah mereka. Setelah mereka melihat jawaban
tersebut, mereka berkata, "Orang ini lebih mengetahui daripada kami tentang apa
yang diturunkan oleh Allah kepada kami."
Sesungguhnya mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang ilmu sihir serta
mendebatnya dengan ilmu tersebut. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan
mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman
(dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman
tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir
(mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia. (Al-Baqarah:
102)
Sesungguhnya setan-setan itu dengan sengaja membuat suatu kitab, lalu mereka
mencatat ke dalamnya tentang sihir dan tenung serta hal-hal yang dikehendaki
oleh Allah Swt. dari hal tersebut. Lalu mereka menguburnya di bawah kursi
singgasana Nabi Sulaiman, sedangkan Nabi Sulaiman sendiri tidak mengetahui hal
yang gaib.
Setelah Nabi Sulaiman wafat, lalu mereka (atas petunjuk setan) mengeluarkan
buku sihir itu dan memperdaya manusia dengan kitab itu. Mereka mengatakan,
"Kitab inilah yang dahulu disembunyikan oleh Sulaiman, ia menggunakannya untuk
melampiaskan dengkinya terhadap manusia."
Maka Nabi Saw. menceritakan kisah yang sesungguhnya, dan mereka (orang-orang
Yahudi itu) kembali ke tempat tinggalnya dari sisi beliau Saw. dalam keadaan tak
berdaya karena hujah mereka dipatahkan oleh wahyu Allah Swt.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka
mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.
(Al-Baqarah: 102); Dahulu setan-setan sering mencuri-curi pendengaran dari
wahyu, maka tidak sekali-kali mereka mendengar suatu kalimat pun dari wahyu itu
melainkan mereka menambahkan kepadanya dua ratus kali lipat hal yang semisal
dari diri mereka sendiri. Kemudian Nabi Sulaiman a.s. mengirimkan utusannya
untuk mencatat hal tersebut. Setelah Nabi Sulaiman wafat, maka setan-setan
menemukan catatan itu (yaitu ilmu sihir), lalu mereka mengajarkannya kepada
manusia.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, dahulu Nabi Sulaiman merampas semua ilmu sihir
yang ada di tangan setan, kemudian ia kubur ilmu tersebut di bawah kursi
singgasananya, yakni di dalam gudangnya, hingga setan-setan tidak dapat
mencapainya.
Kemudian setan mendekati manusia dan berkata kepada mereka, "Tahukah kalian
ilmu apakah yang dipakai oleh Sulaiman untuk menundukkan setan-setan dan angin
serta lain-lainnya?" Mereka menyetujui pendapat setan, lalu setan berkata kepada
mereka, "Sesungguhnya kitab itu ada di dalam gudang rumahnya, tepatnya di bawah
kursi singgasananya." Setan membujuk manusia untuk mengeluarkannya, lalu
mengamalkannya.
Orang-orang Hijaz mengatakan bahwa dahulu Sulaiman mengerjakan ilmu sihir
tersebut. Maka Allah Swt. menurunkan kepada Nabi-Nya wahyu yang membersihkan
nama Nabi Sulaiman a.s. dari sihir tersebut. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal
Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang
kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan bahwa setelah setan-setan
mengetahui kewafatan Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud a.s., maka dengan sengaja
mereka menulis berbagai macam ilmu sihir. Di dalamnya dicatatkan bahwa barang
siapa yang ingin mencapai anu dan anu, hendaklah ia melakukan ini dan itu.
Setelah semuanya terhimpun, lalu mereka mencatatkannya ke dalam sebuah buku,
lalu mereka cap dengan memakai cap seperti cap Nabi Sulaiman. Mereka mencatat
judulnya dengan kalimat sebagai berikut: "Inilah semua yang dicatat oleh Asif
ibnu Barkhia, teman dekat Nabi Sulaiman ibnu Daud; di dalamnya terkandung
perbendaharaan berbagai ilmu yang langka". Kemudian mereka mengubur buku
tersebut di bawah kursi singgasana bekas Nabi Sulaiman.
Tidak lama kemudian buku tersebut digali oleh sisa-sisa Bani Israil. Setelah
menemukannya, mereka berkata, "Demi Allah, kerajaan Sulaiman hanyalah tegak
melalui ilmu ini." Lalu mereka menyebarkan ilmu sihir di kalangan manusia,
mempelajarinya, juga mengajarkannya. Maka tiada sesuatu pun dari ilmu sihir itu
dimiliki oleh seseorang melainkan orang-orang Yahudi jauh lebih banyak darinya.
Semoga laknat Allah menimpa mereka.
Ketika Rasulullah Saw. menyebutkan di antara wahyu yang diturunkan kepadanya
dari Allah Swt. mengenai diri Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud dan menyebutnya
sebagai salah seorang dari kalangan rasul-rasul Allah, maka orang-orang Yahudi
yang ada di Madinah mengatakan, "Tidakkah kalian heran dengan apa yang dikatakan
oleh Muhammad ini. Dia menduga bahwa Sulaiman ibnu Daud adalah seorang nabi.
Demi Allah, tiada lain Sulaiman itu hanyalah seorang ahli sihir." Maka
sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka
mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan
mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak
kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir
(mengerjakan sihir), (Al-Baqarah: 102) hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah
menceritakan kepada kami Husain Al-Hajjaj, dari Abu Bakar, dari Syahr ibnu
Hausyab yang menceritakan bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman dirampas dari
tangannya, maka selama Nabi Sulaiman absen setan-setan mencatat ilmu sihir.
Setan-setan tersebut mencatat bahwa barang siapa yang ingin mendapatkan anu dan
anu, hendaklah ia menghadap ke arah matahari dan mengucapkan mantera ini dan
itu. Barang siapa yang hendak melakukan anu dan anu, hendaklah ia membelakangi
matahari dan mengucapkan mantera ini dan itu. Setan-setan itu mencatat semuanya
dan menamakan catatannya itu dengan suatu judul, yaitu "Inilah yang telah
dicatat oleh Asif ibnu Barkhia buat Raja Sulaiman ibnu Daud, mengandung
perbendaharaan-perbendaharaan rahasia ilmu yang terpendam".
Ketika Nabi Sulaiman mengetahui kitab catatan itu, maka ia menguburnya di
bawah kursi singgasananya. Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia, iblis berdiri,
lalu berkhotbah dengan mengatakan, "Hai manusia, sesungguhnya Sulaiman itu
bukanlah seorang nabi, melainkan seorang penyihir. Maka carilah ilmu sihirnya
itu di antara barang-barang miliknya dan rumah-rumahnya." Kemudian iblis
menunjukkan' kepada mereka tempat Nabi Sulaiman mengubur kitab tersebut.
Maka mereka berkata, "Demi Allah, sesungguhnya Sulaiman adalah seorang
penyihir. Inilah sihirnya. Dengan sihir ini kita diperbudak, dan dengan sihir
ini kita dikalahkan." Orang-orang yang beriman mengatakan, "Tidak, bahkan dia
adalah seorang nabi lagi mukmin."
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. dan beliau Saw. menceritakan perihal
Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, maka orang-orang Yahudi mengatakan, "Lihatlah oleh
kalian Muhammad ini, dia mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil. Dia
menyebut Sulaiman bersama para nabi, padahal sesungguhnya Sulaiman hanyalah
tukang sihir yang dapat menaiki angin." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal
Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir)..., hingga akhir ayat,
(Al-Baqarah: 102).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul
A’la As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imran ibnu Jarir mengatakan dari Abul
Mijlaz, bahwa Nabi Sulaiman mengikat tiap-tiap ekor kuda dengan sebuah janji.
Untuk itu apabila seorang lelaki memperolehnya (dalam perang), lalu Nabi
Sulaiman memintanya, maka ia harus menyerahkannya. Maka orang-orang menambah
sajak dan sihir, lalu mereka berkata, "Inilah yang diamalkan oleh Sulaiman ibnu
Daud." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).
Mereka menga-jarkan sihir kepada manusia. (Al-Baqarah: 102)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Hatim,
telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami
Adam, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, dari Ziad maula Mus'ab, dari
Al-Hasan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan mereka mengikuti apa yang
dibacakan oleh setan-setan. (Al-Baqarah: 102) Bahwa sepertiganya berisikan
syair, sepertiganya lagi berisikan sihir, sedangkan sepertiga yang terakhir
berisikan ramalan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar
Al-Wasiti, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu
Mansur, dari Al-Hasan sehu-bungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka
mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.
(Al-Baqarah: 102) Artinya, orang-orang Yahudi mengikuti apa yang dibacakan oleh
setan-setan itu di masa kerajaan Nabi Sulaiman. Sebelum itu ilmu sihir memang
telah ada di muka bumi ini, tetapi baru diikuti hanya pada masa kerajaan Nabi
Sulaiman.
Demikianlah sekilas dari pendapat para imam terdahulu sehubungan dengan makna
ayat ini. Tetapi pada garis besarnya tidak samar lagi kesemuanya dapat
digabungkan menjadi suatu kesimpulan, dan pada hakikatnya di antara
pendapat-pendapat tersebut tidak ada pertentangan, menurut pandangan orang-orang
yang mempunyai pemahaman yang mendalam.
*************
Firman Allah Swt.:
وَاتَّبَعُوا
مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ
Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa
kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102)
Yang dimaksud dengan mereka ialah orang-orang Yahudi yang telah diberi
Al-kitab (Taurat). Hal ini terjadi setelah mereka berpaling dari ajaran
Kitabullah (Taurat) yang ada di tangan mereka dan setelah mereka menentang
Rasulullah Saw. Sesudah kesemuanya itu mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh
setan-setan. Yang dimaksud dengan bacaan setan ialah riwayat, berita, dan kisah
yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.
Dalam ungkapan ini fi'il tatlu ber-muta'addi dengan huruf 'ala
karena di dalamnya terkandung pengertian membaca secara dusta.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa huruf 'ala dalam ayat ini mengandung makna
sama dengan huruf fi, yakni tatlu fi mulki Sulaiman, artinya: Yang
dibacakan oleh setan-setan dalam kerajaan Sulaiman. Ibnu Jarir menukil pendapat
ini dari Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq.
Menurut kami, makna tadammun (yang mengandung pengertian membaca dan
berdusta) adalah lebih baik dan lebih utama.
Mengenai pendapat Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa dahulu sebelum masa
Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud sihir itu telah ada, pendapat ini memang benar dan
tidak diragukan lagi. Mengingat tukang-tukang sihir banyak didapat di masa Nabi
Musa a.s., sedangkan zaman Sulaiman ibnu Daud sesudah itu, seperti yang
dijelaskan oleh firman-Nya:
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسى
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi
Musa..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 246).
Kemudian dalam kisah selanjutnya disebutkan melalui firman-Nya:
وَقَتَلَ
داوُدُ جالُوتَ وَآتاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ
Dan (dalam peperangan ini) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan
kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah. (Al-Baqarah: 251)
Kaum Nabi Saleh —yang ada sebelum Nabi Ibrahim a.s.— berkata kepada Nabi
mereka (yaitu Nabi Saleh), seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:
إِنَّمَا
أَنْتَ مِنَ الْمُسَحَّرِينَ
Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang terkena
sihir. (Asy-Syu'ara: 153)
Menurut pendapat yang masyhur, lafaz mas-hur artinya orang yang
terkena sihir.
****************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا
أُنزلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ
أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ}
dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut
dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun
sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu,
janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang
dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
istrinya. (Al-Baqarah: 102)
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan takwil ayat ini. Sebagian dari
mereka mengatakan bahwa huruf ma adalah nafiyah, yakni huruf ma
yang terdapat di dalam firman-Nya, "Wa ma unzila 'alal malakaini."
Al-Qurtubi mengatakan bahwa ma adalah nafiyah, ia di-'ataf-kan
kepada firman-Nya, "Wa ma kafara Sulaimanu." Selanjutnya dalam ayat
berikut disebutkan:
{وَلَكِنَّ
الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ} أَيِ:
السِّحْرُ {عَلَى الْمَلَكَيْنِ}
hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua
malaikat. (Al-Baqarah: 102)
Karena dahulu orang-orang Yahudi menduga bahwa ilmu sihir tersebut diturunkan
oleh Malaikat Jibril dan Mikail. Maka Allah Swt. membantah kedustaan mereka itu
melalui firman-Nya:
{هَارُوتَ
وَمَارُوتَ}
yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)
Kedudukan kedua lafaz ini menjadi badal dari lafaz syayatin.
Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan, hal seperti ini dinilai sah, mengingat
adakalanya jamak itu disebut dengan lafaz yang menunjukkan pengertian dua,
seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
فَإِنْ
كانَ لَهُ إِخْوَةٌ
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa orang saudara. (An-Nisa:
11)
Atau karena keduanya mempunyai banyak pengikut, atau keduanya diprioritaskan
dalam sebutan di antara mereka karena keduanya sangat jahat. Bentuk kalimat
secara lengkap menurut Al-Qurtubi ialah seperti berikut: "Mereka mengajarkan
sihir kepada manusia di Babil, yakni Harut dan Marut." Kemudian Al-Qurtubi
mengatakan, "Takwil inilah yang menurut pendapatku merupakan takwil yang paling
utama dan paling sahih pada ayat ini, sedangkan yang lainnya tidak perlu
diperhatikan lagi."
Ibnu Jarir meriwayatkan berikut sanadnya melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu
Abbas, sehubungan dengan tafsir firman-Nya: dan apa yang diturunkan kepada
dua malaikat di negeri Babil. (Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat. Ibnu
Abbas mengatakan bahwa Allah Swt. tidak menurunkan sihir.
Menurut riwayat lain berikut sanadnya Ibnu Jarir mengemukakan pula melalui
Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa Allah Swt.
menurunkan ilmu sihir kepada keduanya.
Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil ayat ini seperti berikut: "Dan
mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman, yaitu berupa ilmu sihir, padahal Sulaiman tidak mengerjakan sihir dan
Allah pun tidak pernah menurunkan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya
setan-setanlah yang kafir. Mereka mengajarkan ilmu sihir pada manusia di Babil,
yakni Harut dan Marut."
Dengan demikian, berarti lafaz bibabila haruta wa maruta termasuk
lafaz yang diakhirkan, tetapi maknanya didahulukan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa seandainya ada seseorang bertanya, "Apakah alasan
yang membolehkan taqdim (pendahuluan) tersebut?" Sebagai jawabannya ialah
dikemukakan bahwa takwil ayat seperti berikut: "Dan mereka mengikuti apa yang
dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, yakni berupa ilmu sihir,
padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), tidak pula Allah
menurunkan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya setan-setanlah yang kafir.
Mereka mengajarkan ilmu sihir kepada manusia di Babil, yaitu Harut dan Marut."
Lafaz malakaini dimaksudkan adalah Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail,
karena para ahli sihir orang-orang Yahudi menurut berita yang tersiar di
kalangan mereka menduga bahwa Allah Swt. telah menurunkan ilmu sihir melalui
lisan Jibril dan Mikail yang disampaikan kepada Sulaiman ibnu Daud. Maka Allah
mendustakan tuduhan yang mereka lancarkan itu, dan memberitahukan kepada
Nabi-Nya (Nabi Muhammad Saw.) bahwa Jibril dan Mikail sama sekali tidak pernah
menurunkan ilmu sihir. Dan Allah Swt. membersihkan diri Nabi Sulaiman a.s. dari
tuduhan mempraktikkan sihir yang mereka lancarkan itu. Sekaligus Allah
memberitahukan kepada mereka (orang-orang Yahudi) bahwa sihir itu merupakan
perbuatan setan-setan. Setan-setanlah yang mengajarkannya kepada manusia di
Babil. Orang-orang yang mengajarkan sihir kepada mereka adalah dua orang lelaki,
salah seorangnya bernama Harut, sedangkan yang lain adalah Marut.
Berdasarkan takwil ini berarti Harut dan Marut adalah nama manusia, sekaligus
sebagai bantahan terhadap apa yang mereka tuduhkan terhadap kedua malaikat
(Jibril dan Mikail). Demikianlah nukilan dari Ibnu Jarir secara harfiah.
Sesungguhnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ia pernah menceritakan riwayat
berikut dari Ubaidillah ibnu Musa yang mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Fudail ibnu Marzuq, dari Atiyyah sehubungan dengan tafsir firman-Nya,
"Wa ma unzila 'alal malakaini," bahwa Allah sama sekali tidak menurunkan
ilmu sihir kepada Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Al-Fadl ibnu
Syazan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan
kepada kami Ya’la (yakni Ibnu Asad), telah menceritakan kepada kami Bakr (yakni
Ibnu Mus'ab), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Abu Ja'far, bahwa
Abdur Rahman ibnu Abza selalu membaca ayat berikut dengan bacaan: Wa ma
unzila 'alal malakaini Dawuda wa Sulaimana.
Abul Aliyah mengatakan bahwa Allah tidak menurunkan ilmu sihir kepada
keduanya (Daud dan Sulaiman). Keduanya mengajarkan kepada iman dan
memperingatkan terhadap kekufuran, sedangkan sihir termasuk perbuatan kafir.
Keduanya selalu melarang perbuatan kufur dengan larangan yang sangat keras.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Kemudian Ibnu Jarir melanjutkan kata-katanya sehubungan dengan bantahannya
terhadap pendapat Al-Qurtubi tadi, bahwa huruf ma dalam ayat ini bermakna
al-lazi; lalu ia membahasnya dengan pembahasan yang panjang lebar.
Ia menduga bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat yang diturunkan ke bumi
oleh Allah Swt. Allah mengizinkan keduanya untuk mengajarkan ilmu sihir sebagai
cobaan buat hamba-hamba-Nya, sekaligus sebagai ujian, sesudah Allah menjelaskan
kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan rasul-rasul-Nya bahwa melakukan sihir itu
merupakan perbuatan terlarang.
Ibnu Jarir menduga pula bahwa Harut dan Marut dalam mengajarkan ilmu sihir
tersebut dianggap sebagai malaikat yang taat, mengingat keduanya dalam rangka
melaksanakan perintah Allah. Pendapat yang ditempuh oleh Ibnu Jarir ini sangat
garib.
Tetapi ada pendapat yang lebih garib lagi dari itu, yaitu pendapat orang yang
mengatakan bahwa Harut dan Marut adalah dua kabilah dari kalangan makhluk jin,
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hazm.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan berikut sanadnya melalui Ad-Dahhak ibnu Muzahim,
bahwa ia pernah membacakan wama unzila 'alal malakaini, lalu ia
mengatakan bahwa keduanya adalah dua orang kafir dari kalangan penduduk negeri
Babil. Alasan yang dipegang oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah
bahwa al-inzal di sini bermakna menciptakan, bukan menurunkan; seperti
pengertian yang terkandung di dalarn firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
وَأَنْزَلَ
لَكُمْ مِنَ الْأَنْعامِ ثَمانِيَةَ أَزْواجٍ
Dia ciptakan bagi kalian delapan ekor yang berpasangan dari binatang
ternak. (Az-Zumar: 6)
وَأَنْزَلْنَا
الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ
Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat.
(Al-Hadid: 25)
وَيُنَزِّلُ
لَكُمْ مِنَ السَّماءِ رِزْقاً
Dan Dia menciptakan untuk kalian rezeki dari langit. (Al-Mu’min:
13)
Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:
«مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً»
Tidak sekali-kali Allah menciptakan penyakit melainkan Dia menciptakan
pula obat penawarnya.
Sebagaimana dikatakan dalam suatu pepatah, "Allah menciptakan kebaikan dan
keburukan."
Al-Qurtubi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, Ibnu Abza, dan Al-Hasan Al-Basri,
bahwa mereka membaca ayat ini seperti berikut: Wama unzila 'alal
malikaini, dengan huruf lam yang di-kasrah-kan. Ibnu Abza mengatakan,
yang dimaksud dengan al-malikaini adalah Daud dan Sulaiman. Imam Qurtubi
mengatakan bahwa dengan bacaan ini berarti huruf ma adalah nafiyah.
Ulama lainnya berpendapat mewaqafkan pada firman-Nya, "Yu'allimunan nasas
sihra," sedangkan huruf ma adalah nafiyah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yunus, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Yahya ibnu
Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad ketika ditanya mengenai takwil firman-Nya
oleh seorang lelaki, yaitu: Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa
yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut.
(Al-Baqarah: 102) Bahwa keduanya adalah dua orang lelaki, mereka mengajarkan
kepada manusia apa yang diturunkan kepada keduanya. Menurut yang lainnya,
keduanya mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diturunkan kepada keduanya.
Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, "Aku tidak pedulikan lagi mana yang dimaksud
di antara keduanya."
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Yunus, dari Anas ibnu Iyad, dari
sebagian teman-temannya, bahwa Al-Qasim ibnu Muhammad sehubungan dengan kisah
ini mengatakan, "Aku tidak mempedulikan mana yang dimaksud di antaranya, pada
prinsipnya aku tetap beriman kepadanya."
Kebanyakan ulama Salaf berpendapat bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat
dari langit, dan bahwa keduanya diturunkan ke bumi, kemudian terjadilah apa yang
dialami oleh keduanya. Kisah keduanya itu disebutkan di dalam hadis marfu'' yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnadnya, seperti yang akan kami
kemukakan nanti, insya Allah.
Berdasarkan pengertian ini, berarti dari penggabungan antara pendapat ini
dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa para malaikat itu terpelihara dari
kesalahan dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang dialami oleh kedua malaikat ini
sejak zaman azali telah diketahui oleh ilmu Allah. Dengan demikian, berarti
peristiwa ini merupakan kekhususan bagi keduanya; maka tidak ada pertentangan
pada kedua dalilnya, seperti juga yang telah diketahui oleh ilmu Allah mengenai
perkara iblis dalam keterangan terdahulu. Tidak bertentangan pula dengan
pendapat yang mengatakan bahwa pada awalnya iblis merupakan segolongan dari
malaikat, sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَإِذْ
قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ
أَبَى}
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah
kalian kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan.
(Al-Baqarah: 34)
dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan makna tersebut. Tetapi perlu diingat
bahwa apa yang dilakukan oleh Harut dan Marut —bila ditinjau dari kisah
keduanya— jauh lebih ringan daripada apa yang dialami oleh iblis yang dilaknat
Allah. Hal ini diriwayatkan oleh Al-Qurtubi, dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas,
Ibnu Umar, Ka'b Al-Ahbar, As-Saddi, dan Al-Kalbi.
Hadis yang menceritakan Harut
dan Marut
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ، فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ [أَبِي] بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ مُوسَى
بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ سَمِعَ
نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ آدَمَ
-عَلَيْهِ السَّلَامُ-لَمَّا أَهْبَطَهُ اللَّهُ إِلَى الْأَرْضِ قَالَتِ
الْمَلَائِكَةُ: أَيْ رَبِّ {أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ
مَا لَا تَعْلَمُونَ} [الْبَقَرَةِ: 30] ، قَالُوا: رَبَّنَا، نَحْنُ أَطْوَعُ لَكَ
مِنْ بَنِي آدَمَ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِلْمَلَائِكَةِ: هَلُموا مَلَكَيْنِ
مِنَ الْمَلَائِكَةِ حَتَّى نُهْبِطَهُمَا إِلَى الْأَرْضِ، فَنَنْظُرَ كَيْفَ
يَعْمَلَانِ؟ قَالُوا: برَبِّنا، هاروتَ وماروتَ. فَأُهْبِطَا إِلَى الْأَرْضِ
ومثُلت لَهُمَا الزُّهَرة امْرَأَةً مِنْ أَحْسَنِ الْبَشَرِ، فَجَاءَتْهُمَا،
فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَتَكَلَّمَا بِهَذِهِ
الْكَلِمَةِ مِنَ الْإِشْرَاكِ. فَقَالَا وَاللَّهِ لَا نُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا
أَبَدًا. فَذَهَبَتْ عَنْهُمَا ثُمَّ رَجَعَتْ بِصَبِيٍّ تَحْمِلُهُ، فَسَأَلَاهَا
نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَقْتُلَا هَذَا الصَّبِيَّ. فَقَالَا
لَا وَاللَّهِ لَا نَقْتُلُهُ أَبَدًا. ثُمَّ ذَهَبَتْ فَرَجَعَتْ بقَدَح خَمْر
تَحْمِلُهُ، فَسَأَلَاهَا نَفْسَهَا. فَقَالَتْ: لَا وَاللَّهِ حَتَّى تَشْرَبَا
هَذَا الْخَمْرَ. فَشَرِبَا فَسَكِرَا، فَوَقْعَا عَلَيْهَا، وَقَتَلَا الصَّبِيَّ.
فَلَمَّا أَفَاقَا قَالَتِ الْمَرْأَةُ: وَاللَّهِ مَا تَرَكْتُمَا شَيْئًا
أَبَيْتُمَاهُ عَلِيَّ إِلَّا قَدْ فَعَلْتُمَاهُ حِينَ سَكِرْتُمَا. فخيرَا بَيْنَ
عَذَابِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ، فَاخْتَارَا عَذَابَ
الدُّنْيَا".
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab Musnad-nya, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami
Zuhair ibnu Muhammad, dari Musa ibnu Jubair, dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar
r.a., bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya Adam a.s.
ketika diturunkan oleh Allah ke bumi, para malaikat berkata, "Wahai Tuhan,
mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman,
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." Mereka bermaksud,
"Wahai Tuhan kami, kami lebih taat kepada-Mu daripada Bani Adam." Allah
berfirman kepada para malaikat, "Datangkanlah dua malaikat oleh kalian untuk
Kami turunkan ke bumi, lalu Kami lihat apa yang akan dikerjakan oleh keduanya."
Mereka berkata, "Wahai Tuhan kami, Harut dan Marut." Kemudian keduanya
diturunkan ke bumi, dan diciptakan bagi keduanya Zahrah, yaitu seorang wanita
yang paling cantik di masanya. Lalu Zahrah datang kepada keduanya, maka keduanya
meminta agar Zahrah menyerahkan diri kepadanya. Zahrah menjawab, "Tidak, demi
Allah, sebelum kamu berdua mengucapkan kalimat-kalimat ini (yang mengandung
makna kemusyrikan)." Kedua malaikat itu menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak
mau menyekutukan Allah dengan sesuatu pun untuk selama-lamanya." Zahrah pergi
dari keduanya, lalu kembali lagi dengan membawa seorang bayi laki-laki yang
digendongnya. Kedua malaikat itu meminta Zahrah agar menyerahkan diri kepada
keduanya, maka Zahrah menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua membunuh
bayi kecil ini." Keduanya menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak akan
membunuhnya selama-lamanya." Zahrah pergi meninggalkan keduanya, lalu kembali
lagi dengan membawa sebuah wadah yang berisikan khamr. Ketika keduanya meminta
agar ia menyerahkan diri kepada keduanya, maka ia menjawab, "Tidak, demi Allah,
sebelum kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya meminum khamr itu hingga mabuk,
dan akhirnya keduanya menggauli Zahrah, lalu membunuh anak kecil itu." Ketika
keduanya sadar, si wanita itu (yakni Zahrah) berkata kepada keduanya, "Demi
Allah, tiada sesuatu pun" yang pada mulanya kamu berdua menolak kepadaku tidak
mau melakukannya, melainkan sekarang .kamu telah melakukannya di saat kamu
berdua mabuk." Akhirnya kedua malaikat itu disuruh memilih antara azab di dunia
dan azab di akhirat, maka keduanya memilih azab di dunia.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Hatim ibnu Hibban di dalam kitab
sahihnya melalui Al-Hasan, dari Sufyan, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari
Yahya ibnu Bukair. Hadis ini berpredikat garib ditinjau dari sanad ini; semua
perawinya berpredikat siqah, semuanya dari kalangan para perawi kitab Sahihain,
kecuali Musa ibnu Jubair. Dia adalah seorang dari Ansar, dari kabilah As-Sulami;
maula mereka adalah Al-Madini Al-Hazza.
Musa ibnu Jubair ini meriwayatkan hadisnya dari Ibnu Abbas, Abu Umamah ibnu
Sahl ibnu Hanif, Nafi', dan Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik. Orang-orang yang
telah mengambil hadis darinya ialah anak lelakinya sendiri (yaitu Abdus Salam),
Bakr ibnu Mudar, Zuhair ibnu Muhammad, Sa'id ibnu Salamah, Abdullah ibnu
Luhai'ah, Amr ibnul Haris, dan Yahya ibnu Ayyub. Orang-orang yang meriwayatkan
hadisnya ialah Abu Daud dan Ibnu Majah. Ibnu Abu Hatim di dalam kitab
Al-Jarhu wat Ta'dil menyebutkannya, tetapi dia tidak sedikit pun
menceritakan perihal pribadinya, baik yang menyangkut hadis ini atau pun yang
lainnya. Pada kesimpulannya dia adalah perawi yang keadaannya tidak diketahui.
Sesungguhnya dia menyendiri dengan hadis ini, dari Nafi' maula Ibnu Umar r.a.,
dari Nabi Saw. Tetapi menurut Ibnu Murdawaih, ada seorang mutabi’ yang
meriwayatkan hadis ini melalui Nafi' dari jalur lain, yaitu: Telah menceritakan
kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ali
ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Raja', telah
menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Musa
ibnu Sarjis, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw.
bersabda mengatakan hadis ini. Lalu ia menyebut hadis ini secara panjang
lebar.
Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Al-Qasim, telah menceritakan kepada Al-Husain (yakni Sunaid ibnu Daud, penulis
kitab tafsir), telah menceritakan kepada kami Al-Faraj ibnu Fudalah, dari
Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Nafi' menceritakan bahwa ia pernah bepergian
bersama Ibnu Umar. Ketika malam hari sampai pada penghujung waktunya, Ibnu Umar
berkata, "Hai Nafi', lihatlah apakah bintang merah telah terbit?" Aku menjawab,
"Belum," sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian aku katakan, "Ia telah terbit."
Ibnu Umar menjawab, "Tiada selamat terbit dan tiada selamat datang baginya." Aku
berkata, "Subhanallah (Mahasuci Allah), bintang itu diciptakan dalam
keadaan tunduk dan taat (kepada perintah Allah)." Ia menjawab bahwa tidak
sekali-kali ia mengatakan demikian melainkan setelah ia mendengar Rasulullah
Saw. bersabda kepadanya menceritakan kisah berikut, yaitu:
«إِنَّ
الْمَلَائِكَةَ قَالَتْ يَا رَبِّ كَيْفَ صَبْرُكَ عَلَى بَنِي آدَمَ فِي
الْخَطَايَا وَالذُّنُوبِ؟ قَالَ: إِنِّي ابْتَلَيْتُهُمْ وَعَافِيَتُكُمْ،
قَالُوا: لَوْ كُنَّا مَكَانَهُمْ مَا عَصَيْنَاكَ، قَالَ: فَاخْتَارُوا مَلَكَيْنِ
مِنْكُمْ، قَالَ: فَلَمْ يَأْلُوا جُهْدًا أَنْ يَخْتَارُوا فَاخْتَارُوا هَارُوتَ
وَمَارُوتَ»
Sesungguhnya para malaikat pernah berkata, "Wahai Tuhan, bagaimanakah
Engkau sabar terhadap Bani Adam yang gemar melakukan kesalahan-kesalahan dan
dosa-dosa itu?" Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan kepada
mereka, sedangkan kalian Kubebaskan dari cobaan." Mereka berkata, "Seandainya
kami menggantikan mereka, niscaya kami tidak akan durhaka kepada-Mu." Allah Swt.
berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat dari kalangan kalian.” Maka mereka
mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan pilihan, akhirnya mereka memilih
Harut dan Marut.
Riwayat ini pun sangat garib, dan yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal
ini ialah yang bersumber dari riwayat Abdullah ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar,
bukan dari Nabi Saw. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq di dalam kitab
tafsirnya, dari As-Sauri, dari Musa ibnu Uqbah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari
Ka'b Al-Ahbar yang menceritakan riwayat berikut:
Para malaikat membicarakan tentang amal perbuatan anak-anak Adam dan
dosa-dosa yang dilakukan mereka. Maka dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah
dua malaikat dari kalangan kalian.” Lalu mereka memilih Harut dan Marut, dan
Allah Swt. berfirman kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku akan mengirimkan para
rasul kepada Bani Adam, tetapi antara Aku dan kamu berdua tidak ada rasul.
Turunlah kamu berdua (ke bumi); janganlah kamu sekutukan Aku dengan sesuatu pun,
jangan berzina, dan jangan minum khamr." Ka'b melanjutkan kisahnya, "Demi Allah,
tidak sekali-kali keduanya mengalami sore hari pada hari mereka diturunkan ke
bumi, melainkan keduanya telah rampung mengerjakan semua hal yang keduanya
dilarang melakukannya."
Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui dua jalur periwayatan dari
Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari
Ahmad ibnu Isham, dari Muammal, dari Sufyan As-Sauri dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah
menceritakan kepada kami Al-MA’la (yaitu Ibnu Asad), telah menceritakan kepada
kami Abdul Aziz ibnul Mukhtar, dari Musa ibnu Uqbah, telah menceritakan kepadaku
Salim, bahwa ia pernah mendengar Abdullah menceritakan riwayat berikut dari Ka'b
ibnul Ahbar, lalu ia mengetengahkannya.
Riwayat terakhir ini lebih sahih dan lebih kuat sanadnya (sandarannya) sampai
kepada Abdullah ibnu Umar daripada kedua sanad sebelumnya. Salim lebih kuat
predikatnya bila dinisbatkan kepada ayahnya sendiri ketimbang kepada maulanya,
Nafi'. Hadis ini merujuk dan berpangkal kepada nukilan Ka'b Al-Ahbar yang ia
ambil dari kitab-kitab Bani Israil.
Asar yang menceritakan Harut,
Marut dan Zahrah
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah
menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari
Khalid Al-Hazza, dari Umair ibnu Sa'id yang menceritakan bahwa ia pernah
mendengar Ali r.a. menceritakan asar berikut:
Zahrah adalah seorang wanita cantik dari kalangan penduduk negeri Persia.
Sesungguhnya ia pernah mengadukan suatu perkara kep-da dua malaikat, yaitu Harut
dan Marut. Akan tetapi, Harut dan Marut merayunya agar mau menyerahkan diri
kepada keduanya. Ia menolak ajakan tersebut, kecuali bila keduanya mengajarkan
kepadanya suatu mantera yang bila dibacakan oleh seseorang, maka ia dapat
terbang naik ke langit. Lalu keduanya mengajarkan mantera itu kepadanya, dan ia
segera merapalkannya. Maka naiklah ia ke langit, tetapi setelah itu ia dikutuk
(oleh Allah Swt.) menjadi sebuah bintang (yaitu bintang Zahrah atau Venus).
Sanad riwayat ini semua perawinya berpredikat siqah, tetapi dinilai sangat
garib (aneh).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu
Syazan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan
kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari
Abu Khalid, dari Umair ibnu Sa'id, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa keduanya
adalah malaikat dari langit. Yang dimaksud ialah takwil yang terkandung di dalam
firman-Nya: dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat. (Al-Baqarah:
102)
Asar ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam
kitab tafsirnya berikut sanadnya melalui Mugis, dari maulanya (yaitu Ja'far ibnu
Muhammad), dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ali secara marfu'. Hal ini pun
tidak dapat menguatkan sanad hanya dari segi ini.
Kemudian Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui dua jalur yang
lain, dari Jabir, dari Abut Tufail, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَعَنَ
اللَّهُ الزُّهَرَةَ فَإِنَّهَا هِيَ التِي فَتَنَتِ الْمَلَكَيْنِ هَارُوتَ
وَمَارُوتَ»
Semoga Allah melaknat Zahrah, karena sesungguhnya dialah yang memfitnah
dua malaikat, yaitu Harut dan Marut.
Hadis ini pun tidak sahih, bahkan berpredikat munkar sekali.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada
kami Hammad, dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud dan
Ibnu Abbas, bahwa keduanya pernah menceritakan asar berikut:
Ketika Bani Adam bertambah banyak jumlahnya dan mereka sering melakukan
maksiat, maka para malaikat, bumi, dan gunung-gunung mendoakan kebinasaan bagi
mereka, "Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau tangguhkan mereka." Maka Allah Swt.
berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya telah Aku lenyapkan dari hati
kalian nafsu berahi dan setan, sedangkan di dalam hati mereka Aku jadikan nafsu
berahi dan setan. Seandainya kalian menduduki tempat mereka, niscaya kalian pun
akan melakukan hal yang sama." Maka dalam hati para malaikat terdetik kata-kata
yang mengatakan, "Seandainya mereka dicoba, niscaya mereka akan berteguh hati."
Maka Allah berfirman kepada mereka, "Pilihlah dua malaikat dari kalangan
malaikat yang paling utama dari kalian." Lalu mereka memilih Harut dan Marut,
kemudian keduanya diturunkan ke bumi.
Lalu Zahrah diturunkan dalam rupa seorang wanita cantik dari kalangan
penduduk negeri Persia yang dikenal oleh mereka dengan sebutan Baizakhat.
Akhirnya kedua malaikat itu terjerumus ke dalam perbuatan yang berdosa. Pada
mulanya malaikat selalu memohonkan ampunan buat orang-orang yang beriman saja
(seraya mengucapkan): Wahai Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi
segala sesuatu..., hingga akhir ayat, (Al-Mu’min: 7).
Akan tetapi, setelah kedua malaikat tersebut terjerumus ke dalam perbuatan
dosa, maka mereka memohonkan arnpun buat semua orang yang berada di muka bumi
(seraya mengucapkan): Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Asy-Syura: 5)
Lalu keduanya disuruh memilih antara azab di dunia dan azab di akhirat, maka
keduanya memilih azab di dunia.
Ibnu Abu Hatim menceritakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far Ar-Ruqi, telah menceritakan kepada
kami Abdullah (yakni Ibnu Amr), dari Zaid ibnu Abu Anisah, dari Al-Minhal ibnu
Amr dan Yunus ibnu Khabbab, dari Mujahid yang menceritakan asar berikut:
Aku turun istirahat di rumah Abdullah ibnu Amr dalam suatu perjalananku.
Ketika datang suatu malam, ia berkata kepada pelayannya, "Lihatlah apakah
bintang Hamra terbit? Tiada selamat datang dan tiada selamat terbit buatnya, dan
semoga Allah tidak menghidupkannya lagi; dia adalah teman wanita dari dua
malaikat."
Ibnu Umar melanjutkan kisahnya bahwa pada mulanya para malaikat berkata,
"Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau biarkan saja orang-orang durhaka dari kalangan
Bani Adam itu? Mereka gemar mengalirkan darah secara haram, mengerjakan hal-hal
yang diharamkan oleh-Mu, dan membuat kerusakan di muka bumi." Allah Swt.
berfirman, "Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan terhadap mereka. Barangkali jika
Aku timpakan kepada kalian cobaan yang sama seperti cobaan yang Kutimpakan
kepada mereka, maka kalian pun akan mengerjakan seperti apa yang dilakukan
mereka itu." Mereka menjawab, "Tidak mungkin."
Allah Swt. berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat yang terkemuka dari
kalian." Maka mereka memilih Harut dan Marut. Allah Swt. berfirman kepada
keduanya, "Sesungguhnya Aku akan menurunkan kamu berdua ke bumi dan mengadakan
perjanjian dengan kamu, bahwa kamu tidak boleh musyrik, tidak boleh berzina, dan
tidak boleh khianat." Kedua malaikat itu diturunkan ke bumi dan Allah memberinya
nafsu syahwat, lalu Allah pun menurunkan Zahrah bersama keduanya dalam rupa
seorang wanita yang paling cantik.
Zahrah menampilkan diri kepada keduanya, maka keduanya merayu Zahrah agar
menyerahkan diri kepada keduanya. Tetapi Zahrah berkata, "Sesungguhnya aku
adalah.pemeluk suatu agama yang melarang seseorang mendatangiku kecuali jika
orang itu seagama denganku," Keduanya bertanya, "Apakah agamamu?" Zahrah
menjawab, "Majusi." Keduanya berkata, "Agama musyrik. Ini adalah agama yang sama
sekali tidak kami akui." Maka Zahrah pergi meninggalkan keduanya selama masa
yang dikehendaki oleh Allah Swt.
Kemudian Zahrah menampakkan diri lagi kepada keduanya, lalu keduanya
merayunya agar menyerahkan diri kepada keduanya, tetapi Zahrah menjawab, "Aku
mau menuruti kehendakmu berdua, hanya saja aku mempunyai suami dan aku tidak
suka bila suamiku nanti mengetahui perbuatanku yang akibatnya rahasiaku akan
terbongkar. Akan tetapi, jika kamu berdua berjanji kepadaku mau masuk agamaku
dan mengajarkan kepadaku cara naik ke langit, niscaya aku akan memenuhi
kemauanmu."
Keduanya memasuki agama wanita itu dan mendatanginya seperti apa yang
dikehendaki oleh keduanya. Setelah itu keduanya membawa Zahrah naik ke langit.
Tetapi setelah mereka sampai di langit, wanita itu diculik dari tangan keduanya,
dan sayap keduanya dipotong hingga akhirnya keduanya terjatuh ke bumi dalam
keadaan takut, menyesal, dan menangisi perbuatannya.
Pada masa itu di bumi terdapat seorang nabi yang selalu memanjatkan doa di
antara dua Jumat; apabila datang hari Jumat berikutnya, maka doanya
diperkenankan. Keduanya berkata "Sebaiknya kita datang kepada si Fulan (nabi
tersebut), lalu kita meminta kepadanya agar sudi memohonkan tobat buat kita."
Keduanya datang kepada nabi itu, lalu si nabi berkata, "Semoga Allah mengasihani
kamu berdua, mana mungkin penduduk bumi memohonkan tobat buat penduduk langit?"
Keduanya berkata, "Sesungguhnya kami telah tertimpa cobaan." Nabi berkata,
"Kalau demikian, datanglah kamu berdua pada hari Jumat." Pada hari Jumat
keduanya datang kepada nabi itu, dan nabi berkata, "Aku masih belum dikabulkan
barang sedikit pun buat kamu berdua. Sebaiknya kamu datang lagi kepadaku pada
hari Jumat berikutnya." Maka keduanya datang kepadanya pada Jumat
berikutnya.
Nabi itu berkata, "Kamu berdua harus memilih, karena sesungguhnya kamu
disuruh memilih salah satu di antara dua alternatif. Kamu boleh memilih selamat
di dunia dan azab di akhirat. Atau jika kamu suka, boleh memilih azab di dunia,
sedangkan di akhirat urusan kamu berdua berada di tangan kekuasaan Allah."
Salah satu dari keduanya berkata, "Sesungguhnya masa yang dilalui oleh dunia
baru sebentar." Yang lain mengatakan, "Celakalah kamu, sesungguhnya aku pada
mulanya mau menuruti kemauanmu, sekarang kamu harus mau menuruti kemauanku.
Sesungguhnya azab yang fana (azab di dunia) tidaklah seperti azab yang kekal
(azab di akhirat)." Malaikat pertama berkata, "Sesungguhnya kita di hari kiamat
nanti berada dalam tangan kekuasaan Allah, maka aku merasa ta-kut bila Dia
mengazab kita nantinya." Malaikat yang kedua menjawab, "Tidak, sesungguhnya aku
berharap Allah pasti mengetahui bahwa kita telah memilih azab di dunia karena
takut azab akhirat, semoga saja Dia tidak menggabungkan keduanya pada kita."
Keduanya sepakat memilih azab di dunia, maka keduanya dijungkirkan dalam
keadaan terikat oleh rantai besi ke dalam sebuah lubang yang bagian atas dan
bagian bawahnya dipenuhi dengan api.
Sanad riwayat ini berpredikat jayyid (baik) sampai kepada Abdullah ibnu Umar.
Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan predikat marfu' pada riwayat Ibnu
Jarir melalui hadis Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Akan tetapi, sanad riwayat
ini lebih kuat dan lebih sahih. Kemudian perlu diketahui bahwa riwayat Ibnu Umar
bersumber dari Ka'b, seperti yang diterangkan dahulu pada riwayat Salim, dari
ayahnya.
Bagian hadis yang mengatakan bahwa sesungguhnya Zahrah d-turunkan dalam rupa
seorang wanita yang cantik —demikianlah menurut riwayat dari Ali— di dalamnya
terkandung hal yang sangat aneh.
Asar paling dekat kepada kebenaran sehubungan dengan masalah ini ialah apa
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Isam ibnu
Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Abu
Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu Abbad,
dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan kisah berikut:
Ketika manusia sesudah masa Nabi Adam a.s. terjerumus ke dalam
perbuatan-perbuatan maksiat dan kufur kepada Allah, maka para malaikat yang ada
di langit berkata, "Wahai Tuhan, makhluk yang telah Engkau ciptakan hanya untuk
beribadah dan taat kepada-Mu kini telah terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan
yang membinasakan. Mereka mengerjakan kekufuran, membunuh jiwa, memakan harta
haram, zina, mencuri, dan minum khamr." Lalu para malaikat mengutuk perbuatan
mereka dan tidak memaafkan mereka. Ketika dikatakan kepada para malaikat bahwa
mereka dalam keadaan tidak sadar, maka para malaikat tetap pada sikapnya.
Dikatakan kepada mereka (para malaikat), "Pilihlah oleh kalian dua malaikat
yang paling utama di antara kalian, Aku akan membebankan perintah dan larangan
kepadanya." Lalu mereka memilih Harut dan Marut, keduanya diturunkan ke bumi,
dan dibekalkan kepada keduanya berbagai macam hawa nafsu seperti Bani Adam
(manusia). Allah memerintahkan kepada keduanya agar menyembah-Nya dan jangan
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Allah melarangnya membunuh jiwa yang
diharamkan dan memakan harta yang haram, serta melarangnya berzina, mencuri, dan
minum khamr.
Keduanya tinggal di bumi seraya memutuskan hukum di antara manusia secara hak
selama beberapa waktu. Hal ini terjadi di masa Nabi Idris a.s.
Di zaman itu terdapat seorang wanita yang kecantikannya di antara
wanita-wanita lainnya sama dengan kecantikan bintang Zahrah (Venus) di antara
bintang-bintang lainnya. Kedua malaikat itu sering datang kepadanya, dan
akhirnya keduanya menuruti apa yang dikatakan oleh wanita itu. Keduanya
menginginkan diri wanita itu, tetapi si wanita menolak kecuali jika keduanya
menuruti apa yang dikatakannya dan memasuki agamanya. Keduanya bertanya kepada
si wanita tentang agama yang dipeluknya, lalu si wanita mengeluarkan sebuah
berhala untuk keduanya dan berkata, "Sembahlah ini!" Kedua malaikat menjawab,
"Kami tidak perlu menyembah berhala ini." Lalu keduanya pergi dan tidak datang
lagi selama masa yang dikehendaki oleh Allah.
Keduanya datang lagi kepada wanita itu dan menginginkan diri wanita tersebut,
sedangkan si wanita melakukan hal yang sama, lalu keduanya pergi
meninggalkannya. Akan tetapi, setelah itu keduanya datang lagi dan menginginkan
diri si wanita itu.
Ketika si wanita melihat bahwa keduanya tetap menolak —tidak mau menyembah
berhala— maka berkatalah ia, "Pilihlah olehmu salah satu di antara ketiga
perkara ini, yaitu apakah kamu berdua menyembah berhala ini, atau kamu berdua
membunuh jiwa ini, atau kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya mengatakan,
"Semuanya tidak pantas dilakukan, tetapi yang ringan dari kesemuanya ialah
meminum khamr." Maka keduanya meminum khamr itu hingga mabuk. Akhirnya mereka
berdua menggauli wanita itu; dan karena rasa takut perbuatan keduanya akan
diceritakan kepada orang lain, maka keduanya membunuh orang tersebut.
Ketika rasa mabuk telah lenyap dari keduanya dan keduanya menyadari perbuatan
dosa yang telah dilakukannya, maka keduanya bermaksud naik ke langit; tetapi
tidak bisa, seakan-akan keduanya dihalangi hingga tidak dapat terbang.
Tersingkaplah penutup antara keduanya dan semua malaikat penduduk langit. Maka
para malaikat melihat apa yang telah dilakukan oleh keduanya hingga mereka semua
merasa sangat heran. Akhirnya mereka mengetahui bahwa orang yang dalam keadaan
tidak sadar, rasa takutnya berkurang. Sejak itu para malaikat memohonkan ampun
buat penduduk bumi.
Sehubungan dengan kisah tersebut diturunkanlah ayat berikut, yaitu
firman-Nya: Dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-Nya dan
memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. (Asy-Syura: 5)
Lalu dikatakan kepada keduanya, "Pilihlah oleh kamu berdua azab dunia atau
azab akhirat." Keduanya berkata, "Adapun azab dunia, sesungguhnya ia ada masa
akhirnya dan berhenti, sedangkan azab akhirat tidak ada putus-putusnya."
Keduanya memilih azab di dunia, lalu keduanya diazab di negeri Babil.
Asar ini diriwayatkan pula secara panjang lebar oleh Imam Hakim di dalam
kitab Mustadrak-nya melalui Abu Zakaria Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus
Salam, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Hakkam ibnu Salam Ar-Razi (dia seorang
yang siqah), dari Abu Ja'far Ar-Razi dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Hakim
mengatakan bahwa asar ini sahih sanadnya, hanya keduanya (Imam Bukhari dan Imam
Muslim) tidak mengetengahkannya. Asar ini merupakan riwayat yang lebih dekat
kepada kebenaran dalam masalah Zahrah ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnul
Fadl Al-Hazza'i, telah menceritakan kepada kami Yazid (yakni Al-Farisi), dari
Ibnu Abbas yang menceritakan asar berikut:
Bahwa penduduk langit dunia memandang kepada penduduk bumi, maka penduduk
langit (para malaikat) melihat mereka sering mengerjakan
kemaksiatan-kemaksiatan. Lalu para malaikat berkata, "Wahai Tuhan kami, penduduk
bumi gemar mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat." Allah Swt. berfirman,
"Kalian selalu bersama-Ku, sedangkan mereka dalam keadaan tidak dapat melihat
Aku." Lalu dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah dari kalian tiga malaikat,"
maka mereka memilih tiga malaikat dari kalangan mereka untuk turun ke bumi
dengan syarat hendaknya mereka memutuskan perkara-perkara di antara manusia
penduduk bumi. Allah menjadikan dalam diri mereka syahwat seperti yang ada pada
manusia. Mereka diperintahkan agar jangan minum khamr, jangan membunuh jiwa,
jangan berzina, dan jangan sujud kepada berhala. Akan tetapi, salah satu dari
ketiga malaikat itu mengundurkan diri, hingga akhirnya hanya tinggal dua
malaikat saja yang diturunkan ke bumi.
Keduanya kedatangan seorang wanita yang paling cantik di masanya, namanya
Manahiyah. Keduanya sama-sama jatuh cinta kepada wanita itu. Kemudian keduanya
mendatangi rumah wanita tersebut, lalu berkumpul di dalam rumahnya, dan akhirnya
keduanya menginginkan wanita itu. Maka wanita itu berkata kepada keduanya, "Aku
tidak mau melayani kalian sebelum kalian minum khamrku, membunuh anak
tetanggaku, dan sujud kepada berhalaku."
Keduanya berkata, "Kami tidak akan sujud." Kemudian keduanya minum khamr.
Akhirnya keduanya melakukan pembunuhan dan sujud kepada berhala itu. Maka semua
penduduk langit (para malaikat) melihat perbuatan keduanya itu.
Selanjutnya si wanita itu berkata kepada keduanya, "Ceritakanlah kepadaku
mantera-mantera yang bila kalian baca, maka kalian dapat terbang." Keduanya
menceritakan mantera-mantera tersebut kepadanya, akhirnya ia terbang. Setelah ia
terbang, maka ia dikutuk menjadi bara api, yaitu menjadi bintang Zahrah (Venus).
Sedangkan kepada kedua malaikat tersebut diutus Nabi Sulaiman ibnu Daud, lalu
Nabi Sulaiman menceritakan kepadanya apa yang diperintahkan oleh Allah
kepadanya; keduanya disuruh memilih antara siksa di dunia atau siksa di akhirat
Ternyata keduanya memilih siksa di dunia, maka keduanya digantungkan di antara
langit dan bumi.
Di dalam konteks riwayat ini terdapat banyak tambahan. keanehan, dan hal-hal
yang tidak masuk akal.
Abdur Razzaq mengatakan, Ma'mar pernah menceritakan bahwa Qatadah dan
Az-Zuhri pernah menceritakan kisah berikut dari Ubaidillah bin Abdullah
sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan apa yang diturunkan kepada dua
malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)
Keduanya adalah dari kalangan para malaikat, mereka diturunkan ke bumi untuk
memutuskan hukum di antara manusia. Demikian itu karena pada mulanya para
malaikat memperolok-olokkan para hakim dari kalangan Bani Adam. (Setelah
keduanya menjadi hakim di antara manusia), maka datanglah seorang wanita kepada
keduanya untuk meminta peradilan, tetapi keduanya berbuat zalim terhadapnya.
Setelah itu keduanya pergi naik ke langit, tetapi ternyata keduanya tidak dapat
terbang lagi, seakan-akan ada penghalangnya. Kemudian keduanya disuruh memilih
antara azab di dunia atau azab di akhirat. Maka keduanya memilih azab di
dunia.
Ma'mar mengatakan bahwa Qatadah berkata, "Kedua malaikat tersebut mengajarkan
ilmu sihir kepada manusia, maka disyaratkan bagi keduanya tidak boleh
mengajarkan ilmu sihir kepada seseorang sebelum keduanya mengatakan kepada orang
tersebut, 'Sesungguhnya kami hanyalah cobaan, maka janganlah kamu berbuat
kekufuran'."
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi yang mengatakan bahwa pada awalnya perkara
yang dialami oleh Harut dan Marut adalah, keduanya mencela penduduk bumi karena
keputusan-keputusan hukum yang mereka laksanakan. Dikatakan kepada keduanya,
"Sesungguhnya Aku memberikan sepuluh macam syahwat kepada Bani Adam. Karena
syahwat itulah mereka berbuat durhaka kepada-Ku." Harut dan Marut berkata,
"Wahai Tuhan kami, seandainya Engkau memberikan kepada kami nafsu-nafsu syahwat
tersebut, lalu kami turun ke bumi, niscaya kami akan menghukumi mereka dengan
cara yang adil." Maka Allah berfirman kepada keduanya, "Sekarang turunlah kamu
berdua ke bumi, sesungguhnya Aku telah memberimu kesepuluh nafsu syahwat
tersebut, dan putuskanlah hukum di antara manusia!"
Keduanya turun di negeri Babil, yaitu di Dainawan. Lalu keduanya menjalankan
hukum peradilan, dan apabila sore hari keduanya kembali naik ke langit. Apabila
pagi hari, keduanya turun untuk melaksanakan tugasnya. Keduanya terus dalam
keadaan demikian selama beberapa masa, hingga datanglah kepada keduanya seorang
wanita yang mengadukan masalah suaminya. Keduanya tertarik oleh kecantikan
wanita itu, nama wanita tersebut menurut bahasa Arab adalah Zahrah, menurut
bahasa Nabat Baidakhat, sedangkan menurut bahasa Persia disebut Anahid.
Salah seorang dari kedua malaikat berkata kepada yang lainnya, "Sesungguhnya
wanita ini benar-benar memikat hatiku." Malaikat yang lain berkata,
"Sesungguhnya aku pun bermaksud mengatakan hal yang sama kepadamu, tetapi aku
merasa malu." Maka malaikat pertama berkata, "Bagaimanakah pendapatmu jika aku
kemukakan kepadanya kemauan kita terhadap dirinya?" Malaikat yang kedua
menjawab, "Setuju." Malaikat pertama bertanya, "Akan tetapi, bagaimana dengan
azab Allah?" Malaikat yang kedua menjawab, "Sesungguhnya kita berharap akan
rahmat (ampunan) Allah."
Ketika wanita itu datang kepada keduanya mengadukan perkara suaminya, maka
dikemukakan kepada si wanita tersebut maksud dan keinginan keduanya terhadap
diri si wanita itu. Tetapi wanita itu menjawab, "Tidak, sebelum kamu berdua
memutuskan perkara suamiku untuk kemenangan diriku." Lalu keduanya memutuskan
perkara untuk kemenangan si wanita atas suaminya, kemudian wanita itu
menjanjikan kepada kedua malaikat tersebut bahwa dirinya akan datang menemui
keduanya di suatu tempat yang sepi di antara tempat-tempat yang tak
berpenghuni.
Lalu keduanya datang ke tempat tersebut memenuhi janji wanita itu. Tetapi
ketika keduanya hendak melampiaskan keinginannya, si wanita berkata, "Aku tidak
akan memenuhi keinginanmu sebelum kamu berdua menceritakan kepadaku mantera yang
menyebabkan kamu berdua dapat terbang naik ke langit, juga mantera yang
menyebabkan kamu dapat turun darinya." Lalu keduanya menceritakan mantera
tersebut kepada si wanita. Wanita itu membacanya, lalu ia dapat terbang ke
langit. Akan tetapi, Allah membuatnya lupa kepada mantera yang menyebabkan dia
dapat turun. Maka ia tetap berada di tempatnya, dan Allah mengutuknya menjadi
bintang.
Tersebutlah bahwa apabila Abdullah ibnu Umar melihat bintang tersebut, dia
melaknatnya dan mengatakan, "Bintang inilah yang telah memfitnah Harut dan
Marut."
Sedangkan yang dialami oleh kedua malaikat tersebut adalah: Ketika sore hari
keduanya hendak naik ke langit, tetapi ternyata keduanya tidak mampu
melakukannya, hingga keduanya merasakan bahwa dirinya pasti binasa. Maka
keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Keduanya
memilih azab di dunia, lalu keduanya digantung di negeri Babil; dan sejak itu
keduanya menceritakan kepada orang-orang tentang perkataan yang telah diucapkan
oleh si wanita tersebut, yakni ilmu sihir.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, bahwa perihal yang dialami oleh
Harut dan Marut pada mulanya ialah karena para malaikat merasa heran dengan
perbuatan zalim yang dilakukan oleh Bani Adam, padahal rasul-rasul dan
kitab-kitab serta keterangan-keterangan (mukjizat-mukjizat) telah didatangkan
kepada mereka. Maka Allah berfirman kepada mereka, "Pilihlah dari kalian dua
malaikat, Aku akan menurunkan keduanya guna memutuskan peradilan di muka bumi."
Lalu mereka mengadakan pilihan di antara sesama mereka, ternyata Harut dan Marut
tidak menolak.
Ketika menurunkan keduanya ke bumi, Allah berfirman kepada keduanya, "Kalian
berdua merasa heran terhadap Bani Adam atas kezaliman dan kedurhakaan mereka,
padahal mereka telah didatangi oleh para rasul dan kitab-kitab dari suatu masa
ke masa yang lain. Sesungguhnya kini antara Aku dan kamu berdua tidak ada
seorang rasul pun. Maka lakukanlah demikian dan demikian, dan serukanlah
demikian dan demikian." Allah memberikan kepadanya beberapa perintah dan
beberapa larangan, dan keduanya turun dengan membawa misi tersebut.
Tiada seorang pun yang lebih taat kepada Allah daripada keduanya, keduanya
memutuskan hukum (di antara manusia) dengan keputusan yang adil. Keduanya
melakukan tugas peradilannya di siang hari di antara Bani Adam; dan apabila
petang hari, "keduanya naik ke Langit dan bergabung bersama malaikat lainnya.
Keduanya turun kembali ke bumi pada pagi harinya, lalu memutuskan peradilan
dengan cara yang adil.
Hal tersebut berlangsung pada keduanya hingga diturunkan kepada keduanya
Zahrah dalam rupa seorang wanita yang paling cantik. Ia datang mengadukan
perkara suaminya, lalu keduanya memutuskan peradilan untuk kekalahan pihak si
wanita tersebut. Ketika wanita itu bangkit hendak pergi, maka masing-masing dari
kedua malaikat tersebut merasakan sesuatu pada dirinya terhadap diri si wanita
itu. Maka salah seorang berkata kepada temannya, "Apakah engkau merasakan hal
yang sama seperti yang aku rasakan sekarang?" Temannya menjawab, "Ya." Maka
keduanya mengirimkan utusan kepada si wanita untuk menyampaikan pesan keduanya,
bahwa hendaknya si wanita tersebut datang lagi dan keduanya akan memutuskan
peradilan untuk kemenangannya.
Ketika wanita itu kembali kepada keduanya, mereka mengutarakan hasratnya
kepada wanita itu dan memutuskan peradilan untuk kemenangan si wanita. Maka
keduanya mendatanginya dan membuka aurat keduanya. Sesungguhnya aurat keduanya
ada pada napas keduanya, dan syahwat keduanya serta kelezatannya terhadap wanita
tidak sama dengan yang ada pada Bani Adam. Setelah keduanya sampai pada tahap
tersebut dan menghalalkan perbuatan yang haram serta terjerat ke dalam fitnah
wanita tersebut, maka wanita itu —yakni Zahrah— terbang dan kembali ke tempatnya
semula.
Pada sore harinya ketika keduanya hendak naik, tiba-tiba keduanya dilarang
untuk naik, dan kedua sayapnya tidak mau lagi membawanya terbang. Lalu keduanya
meminta tolong kepada seorang lelaki dari kalangan Bani Adam. Keduanya datang
kepadanya dan mengatakan, "Berdoalah kepada Tuhanmu buat kami." Si lelaki (nabi)
menjawab, "Mana mungkin penduduk bumi memohon syafaat buat penduduk langit?'"
Keduanya berkata, "Kami pernah mendengar beritamu yang disebutkan oleh Tuhanmu
dengan sebutan yang baik di langit."
Kemudian si lelaki itu menjanjikan kepadanya suatu janji di suatu hari yang
pada hari itu dia mendoakan buat keduanya. Si lelaki itu berdoa untuk keduanya
dan diperkenankan baginya, maka keduanya disuruh memilih antara azab di dunia
atau azab di akhirat. Masing-masing memandang kepada temannya dan berkata,
"Tahukah kamu bahwa gelombang-gelombang azab Allah di akhirat demikian dan
demikian dalam keadaan kekal dan abadi, sedangkan azab di dunia yang seperti itu
hanya sembilan kali." Keduanya diperintahkan agar tinggal di Babil, lalu di
tempat itulah keduanya diazab. Diduga bahwa keduanya digantung dengan rantai
besi dalam keadaan terbalik, sedangkan kedua sayapnya digerak-gerakkannya.
Sehubungan dengan kisah Harut dan Marut ini sejumlah tabi'in telah
mengetengahkan riwayatnya, misalnya Mujahid, As-Saddi, Al-Hasan Al-Basri,
Qatadah, -Abul Aliyah, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, dan
lain-lainnya. Ulama ahli tafsir dari kalangan Mufassirin terdahulu dan yang
kemudian mengetengahkannya pula, tetapi pada kesimpulannya semuanya itu merujuk
kepada kisah-kisah dari Bani Israil dalam semua rinciannya, mengingat tiada
suatu hadis yang marfu' lagi sahih mengenainya yang muttasil (berhubungan)
kepada Nabi Saw. yang tidak pernah berbicara dari dirinya sendiri melainkan dari
wahyu yang diturunkan kepadanya.
Sedangkan pengertian lahiriah dari konteks yang disajikan oleh Al-Qur'an
adalah garis besar dari kisah tersebut tanpa rincian dan tanpa pembahasan
panjang lebar. Maka kewajiban kita hanya beriman dengan semua yang disebut oleh
Al-Qur'an menurut apa yang dikehendaki oleh Allah Swt., karena hanya Dialah Yang
Maha Mengetahui hal yang sebenarnya.
Akan tetapi, sehubungan dengan kisah ini terdapat sebuah asar yang garib
dengan rangkaian kisah yang aneh, sengaja kami mengetengahkannya dalam
pembahasan ini untuk dijadikan sebagai peringatan. Imam Abu Ja'far ibnu Jarir
rahimahullah menceritakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu
Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Abuz Zanad, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah, dari
ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. (istri Nabi Saw.) yang menceritakan asar
berikut:
Pernah ada seorang wanita dari Daumatul Jandal datang kepadaku ingin bersua
dengan Rasulullah Saw. Hal itu terjadi dalam waktu yang tidak begitu lama
setelah Rasulullah Saw. wafat. Dia bermaksud bertanya kepada Rasulullah Saw.
tentang beberapa hal yang telah memasuki dirinya, berupa ilmu sihir; tetapi dia
tidak mengamalkannya. Maka Siti Aisyah berkata kepada Urwah, "Hai keponakanku."
Kulihat wanita itu menangis ketika dia mengetahui bahwa Rasulullah Saw. telah
wafat, yang mana keberadaan Rasulullah Saw. merupakan harapan bagi
kesembuhannya. Dia terus menangis hingga aku benar-benar merasa kasihan
kepadanya. Wanita itu berkata, "Sesungguhnya aku merasa khawatir bila aku
menjadi orang yang binasa. Pada mulanya aku mempunyai suami, lalu suamiku pergi
meninggalkanku. Kemudian datanglah seorang nenek-nenek memasuki rumahku, maka
aku mengadukan penderitaanku kepadanya. Nenek itu berkata, 'Jika kamu mau
melakukan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka aku dapat membuat suamimu datang
kepadamu.'
Ketika hari telah malam, nenek tersebut datang kepadaku membawa dua ekor
anjing hitam yang besar. Dia menaiki salah satunya, sedangkan aku menaiki yang
lainnya. Herannya dalam waktu yang sebentar kami telah berada di negeri Babil,
dan tiba-tiba kami bersua dengan dua orang lelaki yang kedua kakinya dalam
keadaan tergantung ke atas. Lalu keduanya berkata, 'Apakah gerangan yang
mendorongmu datang kemari?' Aku menjawab, 'Kami datang untuk belajar ilmu
sihir.' Keduanya berkata, 'Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu. Sebab itu,
janganlah kamu kafir, maka kembalilah kamu.' Aku menolak dan berkata, 'Tidak.'
Keduanya berkata, 'Kalau demikian, pergilah kamu ke tempat pemanggangan roti
itu, lalu kencingilah.'
Aku berangkat (menuju ke tempat pemanggangan roti itu), tetapi aku merasa
takut dan tidak jadi melakukannya, lalu aku kembali kepada keduanya. Keduanya
berkata, 'Apakah engkau telah melakukannya?' Aku menjawab (dengan pura-pura),
'Ya.' Keduanya bertanya, 'Apakah engkau melihat sesuatu?' Aku menjawab, 'Aku
tidak melihat sesuatu pun." Keduanya berkata, 'Kamu masih belum melakukannya,
sekarang kembalilah ke negerimu dan janganlah kamu kufur.'
Aku merasa ragu dan bimbang. Akhirnya aku menolak, tidak mau kembali. Maka
keduanya berkata, 'Pergilah kamu ke pemanggangan roti itu dan kencingilah.' Aku
pergi ke pemanggangan roti itu, tetapi bulu kudukku berdiri dan aku merasa
takut. Maka aku kembali lagi kepada keduanya, dan aku katakan bahwa aku telah
melakukannya. Keduanya bertanya, 'Apakah yang kamu lihat?' Aku menjawab, 'Aku
tidak melihat sesuatu pun.' Keduanya menjawab, 'Kamu dusta, kamu masih belum
melakukannya. Sekarang kembalilah ke negerimu dan janganlah kamu berbuat kufur,
karena sesungguhnya kamu sedang berada di puncak urusanmu.'
Aku merasa bimbang, dan akhirnya aku menolak, tidak mau kembali. Lalu
keduanya berkata, 'Pergilah kamu ke pemanggangan roti itu dan kencingilah.' Maka
aku pergi ke tempat pemanggangan roti tersebut, lalu aku kencing di situ. Aku
melihat seekor kuda yang memakai tutup kepala dari besi keluar dari diriku, dan
kuda itu terbang ke langit hingga tak tampak lagi olehku.
Kemudian aku datang kepada keduanya, dan kukatakan bahwa aku telah melakukan
perintahnya. Maka keduanya bertanya, 'Apakah yang kamu lihat?' Aku menjawab,
'Aku melihat seekor kuda yang kepalanya ditutupi keluar dari diriku, lalu
terbang ke langit hingga aku tidak melihatnya lagi.' Keduanya menjawab, 'Kamu
benar, kuda tersebut ibarat imanmu yang keluar dari dirimu. Sekarang pergilah
kamu.'
Lalu aku berkata kepada nenek-nenek yang menemaniku itu, 'Demi Allah, aku
tidak mengetahui sesuatu pun dan keduanya tidak mengajarkan sesuatu pun
kepadaku.' Nenek itu berkata, 'Tidak. Bahkan apa yang kamu inginkan niscaya akan
terjadi. Sekarang ambillah bibit gandum ini, lalu semaikanlah!' Lalu aku menanam
bibit gandum itu dan kukatakan, 'Tumbuhlah!' Maka tumbuhlah ia menjadi pohon
gandum yang sudah masak. Aku berkata lagi, 'Panenlah kamu!' Maka tanaman gandum
itu panen dengan sendirinya. Kemudian kukatakan, 'Pisahkanlah biji-bijianmu!'
Maka biji-bijinya memisah dengan sendirinya. Kemudian kukatakan kepadanya,
'Keringlah kamu!' Maka keringlah ia dengan sendirinya. Kukatakan kepadanya,
'Jadilah kamu tepung!' Maka ia menjadi tepung dengan sendirinya. Lalu kukatakan
pula, 'Jadi rotilah kamu!' Maka ia menjadi roti. Ketika aku melihat bahwa tidak
sekali-kali diriku menginginkan sesuatu melainkan pasti terjadi, maka aku merasa
menyesal dan kecewa."
Wanita itu berkata, "Demi Allah, wahai Ummul Mu’minin, aku belum melakukan
sesuatu pun dan aku tidak akan mengerjakannya selama-lamanya."
Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ar-Rabi' ibnu Salman
dengan lafaz yang sama secara panjang lebar seperti asar yang baru diuraikan
tadi. Tetapi di dalam riwayatnya kali ini sesudah ucapan wanita itu, "Aku tidak
akan mengerjakannya untuk selama-lamanya," ditambahkan hal seperti berikut:
Maka aku (Siti Aisyah) bertanya kepada para sahabat Rasulullah Saw. yang saat
itu mereka baru ditinggalkan oleh Rasulullah Saw., dan jumlah mereka cukup
banyak. Tetapi ternyata mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka katakan
terhadap wanita tersebut, semuanya merasa takut dan khawatir menyampaikan fatwa
kepadanya dengan fatwa yang belum diketahui mereka. Hanya saja Ibnu Abbas atau
salah seorang sahabat yang ada di tempat tersebut mengatakan, "Seandainya kedua
ibu bapakmu masih hidup atau salah seorang darinya masih hidup."
Hisyam mengatakan, "Seandainya wanita itu datang kepada kami, niscaya kami
akan memberikan fatwa kepadanya dengan jaminan." Ibnu Abuz Zanad mengatakan
bahwa Hisyam berkata, "Sesungguhnya mereka (para sahabat) adalah orang-orang
ahli wara' dan takut kepada Allah." Kemudian Hisyam mengatakan, "Seandainya
datang kepada kami wanita yang semisal dengannya hari ini, niscaya dia akan
menjumpai kebodohanku yang mengategorikan diriku ke dalam orang-orang yang bodoh
lagi memaksakan diri tanpa ilmu." Sanad asar ini berpredikat jayyid sampai
kepada Siti Aisyah r.a.
Asar ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa ilmu sihir itu
mempunyai kemampuan untuk membalikkan benda-benda dari keadaan yang sebenarnya,
karena wanita tersebut menyemaikan benih, lalu tanamannya menjadi masak dengan
seketika. Sedangkan menurut yang lainnya, ilmu sihir tidak mempunyai kemampuan
untuk itu selain hanya sekadar membalikkan kenyataan melalui imajinasi,
sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
سَحَرُوا
أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجاؤُ بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
Mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta
mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Al-A'raf: 116)
يُخَيَّلُ
إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّها تَسْعى
Terbayang di mata Musa karena pengaruh sihir mereka seakan-akan tali-tali
dan tongkat-tongkat itu merayap cepat. (Thaha: 66)
Asar ini menurut As-Saddi dan lain-lainnya merupakan dalil yang menunjukkan
bahwa Babil yang disebut di dalam Al-Qur'an adalah Babil yang ada di negeri
Irak, bukan yang ada di Dainawan.
Asar lain yang memperkuat pendapat bahwa yang dimaksud adalah Babil negeri
Irak ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hatim. Disebut bahwa telah menceritakan
kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh,
telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah
dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari,
bahwa Ali r.a. pernah lewat di negeri Babil dalam suatu perjalanannya. Kemudian
datang kepadanya juru azan yang akan mengumandangkan azan salat Asar, tetapi Ali
diam saja. Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan
tadi untuk mengumandangkan azannya, lalu didirikanlah salat Asar. Setelah
selesai dari salatnya, ia berkata:
إِنَّ
حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِأَرْضِ
الْمَقْبَرَةِ وَنَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِبَابِلَ فَإِنَّهَا
ملعونة
Sesungguhnya kekasihku (Nabi Muhammad Saw.) telah melarangku melakukan salat
di kuburan dan melarangku pula melakukan salat di Babil, karena sesungguhnya
kota Babil itu adalah kota yang terkutuk.
قَالَ
أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ،
حَدَّثَنِي ابْنُ لَهِيعة وَيَحْيَى بْنُ أَزْهَرَ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ سَعْدٍ
الْمُرَادِيِّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ الْغِفَارِيِّ: أَنَّ عَلِيًّا مَرَّ بِبَابِلَ،
وَهُوَ يَسِيرُ، فَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُهُ بِصَلَاةِ الْعَصْرِ، فَلَمَّا
بَرَزَ مِنْهَا أَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَقَامَ الصَّلَاةَ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ:
إِنَّ حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ فِي
الْمَقْبَرَةِ، وَنَهَانِي أَنْ أُصَلِّيَ بِأَرْضِ بَابِلَ، فَإِنَّهَا
مَلْعُونَةٌ.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu
Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari, bahwa Khalifah Ali r.a. pernah
melewati kota Babil dalam suatu perjalanannya. Maka datanglah kepadanya juru
azan yang memberitahukan bahwa waktu asar telah masuk. Ketika ia telah keluar
dari kota Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan untuk mengiqamahkan
salat. Setelah selesai dari salatnya ia mengatakan: Sesungguhnya kekasihku
(Rasulullah Saw.) telah melarangku melakukan salat di kuburan, dan beliau telah
melarangku pula melakukan salat di Babil, karena sesungguhnya kota Babil itu
adalah kota yang terkutuk.
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ
أَزْهَرَ وَابْنُ لَهِيعَةَ، عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ شَدَّادٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ
الْغِفَارِيِّ، عَنْ عَلِيٍّ، بِمَعْنَى حَدِيثِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ، قَالَ:
فَلَمَّا "خَرَجَ" مَكَانَ "بَرَزَ"
Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu
Azar dan Ibnu Luhai'ah, dari Hajjaj ibnu Syaddad, dari Abu Saleh Al-Gifari, dari
sahabat Ali. Hadis yang diketengahkannya kali ini semakna dengan hadis Sulaiman
ibnu Daud. Disebutkan di dalamnya, "Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia
menampakkan dirinya (menyerukan kepada kaum)."
Hadis ini berpredikat hasan menurut Imam Abu Daud, karena ia meriwayatkannya
dan tidak memberinya penilaian; berarti ia setuju.
Di dalam asar ini terkandung hukum fiqih yang menyimpulkan bahwa makruh
melakukan salat di negeri Babil, sebagaimana makruh pula melakukannya di negeri
kaum Samud; karena ada larangan dari Rasulullah Saw. yang memerintahkan tidak
boleh memasuki negeri kaum Samud kecuali bila mereka sambil menangis (ketika
memasukinya).
Menurut ahli ilmu geografi, Babil adalah salah satu daerah bawahan negeri
Irak. Jarak antara Babil sampai kepada laut yang ada di sebelah baratnya —yang
dikenal dengan nama Auqiyanius— diperkirakan tujuh puluh derajat garis
lintangnya, sedangkan garis bujurnya diperkirakan tiga puluh dua derajat.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا
يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا
تَكْفُرْ}
sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum
mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu
kafir." (Al-Baqarah: 102)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu
Abbad, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa apabila ada seseorang yang datang
kepada keduanya (Harut dan Marut) dengan maksud mau belajar ilmu sihir, maka
keduanya melarangnya dengan larangan yang keras dan mengatakan kepadanya,
"Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu. Karena itu, janganlah kamu kafir."
Demikian itu karena keduanya mengetahui kebaikan, keburukan, kekufur-an, dan
iman. Keduanya mengetahui bahwa ilmu sihir merupakan suatu kekufuran.
Apabila orang yang datang itu membandel, tidak mau mengikuti nasihat
keduanya, maka keduanya memerintahkan kepadanya agar mendatangi tempat anu dan
tempat anu. Apabila orang tersebut mendatangi tempat yang ditunjukkan oleh
keduanya, maka ia akan bersua dengan setan, lalu setan akan mengajarinya ilmu
sihir; apabila ia telah mempelajarinya, maka keluarlah nur (iman) dari dirinya,
lalu ia memandang ke arah nur yang terang di langit itu dan mengatakan, "Aduhai,
aku sangat menyesal. Celakalah diriku ini, apa yang harus kuperbuat."
Dari Al-Hasan Al-Basri, disebutkan bahwa ia mengatakan dalam tafsir ayat ini,
"Memang benar, kedua malaikat itu menurunkan ilmu sihir untuk mengajarkannya
kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah mendapat cobaan ini. Maka Allah
mengambil janji dari keduanya, bahwa janganlah keduanya mengajarkannya kepada
seorang pun sebelum keduanya mengatakan, 'Sesungguhnya kami adalah cobaan
bagimu. Karena itu, janganlah kamu kafir'." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu
Hatim.
Qatadah mengatakan bahwa Allah Swt. telah mengambil janji dari keduanya,
bahwa keduanya tidak boleh mengajarkan kepada seorang pun sebelum keduanya
mengatakan kepada orang tersebut, "Sesungguhnya kami hanyalah cobaan," yakni
sedang mengalami cobaan, "Karena itu, janganlah kamu kafir."
As-Saddi mengatakan, apabila ada seorang manusia datang kepada keduanya
dengan maksud belajar ilmu sihir, terlebih dahulu keduanya menasihatinya dan
mengatakan kepadanya, "Janganlah kamu kafir, sesungguhnya kami adalah cobaan
bagimu." Apabila orang tersebut membandel, maka keduanya mengatakan kepadanya,
"Datanglah kamu ke tempat abu anu, lalu kencinglah padanya." Apabila orang
tersebut kencing padanya, maka keluarlah nur dari dirinya, lalu terbang ke
langit hingga tak tampak lagi. Nur tersebut merupakan iman, dan datanglah
sesuatu merupakan asap, lalu asap itu memasuki telinganya dan semua lubang yang
ada pada tubuhnya; hal tersebut merupakan murka Allah. Apabila orang tersebut
menceritakan apa yang telah dialaminya kepada keduanya, barulah keduanya
mengajarkan ilmu sihir. Hal yang demikian itulah yang disebutkan di dalam
firman-Nya: sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun
sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Karena itu,
janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, sehubungan dengan takwil
ayat ini, "Tiada seorang pun yang berani mengerjakan sihir melainkan hanya orang
kafir." Arti Fitnah ialah ujian dan cobaan, seperti yang dikatakan oleh seorang
penyair:
وَقَدْ فُتِنَ النَّاسُ فِي دِينِهِمْ ...
وَخَلَّى ابْنُ عَفَّانَ شَرًّا طَوِيلَا
Dan sesungguhnya manusia itu mengalami
cobaan dalam agama mereka, dan Ibnu Affan telah mengakibatkan keburukan yang
panjang (akibatnya).
Demikian pula pengertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt. ketika
menceritakan kisah Nabi Musa a.s. Allah berfirman:
إِنْ
هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ
Itu hanyalah cobaan dari Engkau. (Al-A'raf: 155)
Maksudnya, ujian dan cobaan dari Engkau. Dalam firman selanjutnya disebutkan:
تُضِلُّ
بِها مَنْ تَشاءُ وَتَهْدِي مَنْ تَشاءُ
Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau
beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. (Al-A'raf: 155)
Sebagian ulama menyimpulkan dalil ayat ini (yakni Al-Baqarah: 102), bahwa
kafirlah orang yang belajar ilmu sihir. Ia memperkuat dalilnya ini dengan sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ
إِبْرَاهِيمَ، عن هُمَامٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ
سَاحِرًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari
Hammam, dari Abdullah yang mengatakan: Barang siapa yang mendatangi tukang
tenung (dukun) atau tukang sihir, lalu ia percaya kepada apa yang dikatakannya,
maka sesungguhnya dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad
Saw.
Sanad riwayat ini sahih dan mempunyai syawahid lain yang memperkuatnya.
***********
Firman Allah Swt:
{فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ}
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu
mereka dapat menceraikan antara seseorang (suami) dengan istrinya.
(Al-Baqarah: 102)
Yakni orang-orang belajar sejenis ilmu sihir dari Harut dan Marut, yang
kegunaannya dapat menimbulkan berbagai macam perbuatan tereela; hingga
sesungguhnya ilmu sihir ini benar-benar dapat memisahkan sepasang suami istri,
sekalipun pada awalnya keduanya sangat harmonis dan rukun. Hal seperti ini
merupakan perbuatan setan, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam
kitab sahihnya:
مِنْ
حَدِيثِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ طَلْحَةَ بْنِ نَافِعٍ، عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "إِنِ الشَّيْطَانَ
لَيَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فِي النَّاسِ،
فَأَقْرَبُهُمْ عِنْدَهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ عِنْدَهُ فِتْنَةً، يَجِيءُ
أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا زِلْتُ بِفُلَانٍ حَتَّى تَرَكْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ
كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ إِبْلِيسُ: لَا وَاللَّهِ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا.
وَيَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ أَهْلِهِ قَالَ: فَيُقَرِّبُهُ وَيُدْنِيهِ وَيَلْتَزِمُهُ، وَيَقُولُ:
نِعْم أَنْتَ
melalui hadis Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Talhah ibnu Nafi’, dari Jabir
ibnu Abdullah r.a., dari Nabi Saw. Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya
iblis itu meletakkan singgasananya di atas air, lalu mengirimkan bala tentaranya
kepada umat manusia; maka setan yang paling besar fitnahnya terhadap umat
manusia akan memperoleh kedudukan yang terdekat di sisi iblis. Salah satu
dari mereka datang, lalu mengatakan, "Aku terus-menerus menggoda si Fulan,
hingga ketika aku tinggalkan dia telah mengerjakan anu dan anu." Iblis menjawab,
"Tidak, demi Allah, kamu masih belum melakukan sesuatu (yakni belum berhasil)."
Lalu datang lagi yang lainnya dan mengatakan, "Aku tidak beranjak darinya
sebelum aku dapat memisahkan antara dia dan istrinya." Maka iblis memberinya
kedudukan yang tinggi dan dekat dengannya serta selalu bersamanya seraya
berkata, "Kamu benar."
Penyebab yang memisahkan sepasang suami istri ialah imajinasi yang disusupkan
oleh setan kepada salah seorang dari suami atau istri hingga ia memandang teman
hidupnya itu seakan-akan buruk penampilan atau buruk pekertinya atau lain
sebagainya, atau seakan-akan ruwet, atau marah bila memandangnya, atau lain
sebagainya yang menyebabkan terjadinya perpisahan.
Lafaz al-mar-u dalam ayat ini berarti suami, sedangkan bentuk
ta-nis-nya adalah imra-atun (istri). Kedua lafaz ini dapat diungkapkan
dalam bentuk tasniyah, tetapi tidak dapat diungkapkan dalam bentuk
jamak.
**********
Firman Allah Swt:
{وَمَا
هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ}
Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada
seorang pun kecuali dengan izin Allah. (Al-Baqarah: 102)
Menurut Sufyan As-Sauri, makna bi-iznillah ialah dengan keputusan
Allah. Sedangkan menurut Muhammad ibnu Ishaq artinya "kecuali bila Allah
membiarkan antara si tukang sihir dengan apa yang dikehendakinya."
Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan takwil ayat ini mengatakan, "Memang
benar. Siapa yang dikehendaki oleh Allah dapat dipengaruhi oleh sihir itu,
niscaya ilmu sihir dapat mencelakakannya. Barang siapa yang tidak dikehendaki
oleh Allah, maka ilmu sihir tidak akan dapat mencelakakannya." Para ahli sihir
tidak dapat menimpakan mudarat (kecelakaan) kepada seorang pun kecuali dengan
izin Allah, seperti yang telah dijelaskan di dalam ayat ini. Akan tetapi,
menurut suatu riwayat yang juga dari Al-Hasan Al-Basri, sihir tidak dapat
meniupkan mudarat kecuali terhadap orang yang mengerjakan ilmu sihir.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَيَتَعَلَّمُونَ
مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ}
Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. (Al-Baqarah: 102)
Yakni memberikan mudarat pada agama mereka dan tidak memberi manfaat yang
sebanding dengan mudaratnya.
{وَلَقَدْ
عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ}
Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang
menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di
akhirat. (Al-Baqarah: 102)
Yaitu sesungguhnya orang-orang Yahudi yang berpaling dari mengikuti Rasul
Saw. dan menggantikannya dengan mengikuti ilmu sihir, mereka telah mengetahui
bahwa di akhirat kelak dia tidak memperoleh keuntungan. Menurut Ibnu Abbas,
Mujahid, dan As-Saddi, makna khalaq ialah bagian.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa takwil ayat ini
ialah: "Tiadalah baginya di akhirat nanti suatu perhatian pun dari Allah Swt."
Menurut Al-Hasan, kata Abdur Razzaq artinya tiadalah baginya agama.
Sa'd meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa
sesungguhnya ahli kitab itu telah mengetahui (meyakini) janji Allah yang telah
ditetapkan atas diri mereka, bahwa seorang penyihir itu tiadalah baginya
keuntungan di akhirat.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَلَبِئْسَ
مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ* وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا
وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ لَوْ كَانُوا
يَعْلَمُونَ}
Dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau
mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya
mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah
lebih baik, kalau mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 102-103)
Allah Swt. berfirman bahwa seburuk-buruk pertukaran adalah sihir yang mereka
beli sebagai ganti dari iman dan mengikuti Rasul Saw., kalau saja mereka
mempunyai ilmu dari apa yang diperingatkan kepada mereka. Seandainya mereka
beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya pahala di sisi Allah lebih baik bagi
mereka. Dengan kata lain, sesungguhnya kalau mereka beriman kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, niscaya pahala Allah
atas hal tersebut lebih baik bagi mereka daripada apa yang mereka pi-ihkan buat
diri mereka dan apa yang mereka sukai itu. Makna ayat ini sama dengan apa yang
dinyatakan di dalam firman-Nya:
وَقالَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ
وَعَمِلَ صالِحاً وَلا يُلَقَّاها إِلَّا الصَّابِرُونَ
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, "Kecelakaan yang besarlah
bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan
beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang
sabar." (Al-Qashash: 80)
***********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلَوْ
أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا}
Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa.
(Al-Baqarah: 103)
dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat bahwa mengerjakan sihir
hukumnya kafir, seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad ibnu Hambal
dan segolongan ulama Salaf.
Sedangkan menurut pendapat yang lain tidak kafir, tetapi ia hanya dikenai
hukuman had, yaitu dengan dipancung lehernya. Hal ini berdasarkan apa yang
diriwayatkan oleh Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Keduanya mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Sufyan (yaitu Ibnu Uyaynah), dari Amr ibnu Dinar,
bahwa ia pernah mendengar Bujalah ibnu Abdah menceritakan asar berikut, bahwa
Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. pernah menulis surat yang di dalamnya
disebutkan, "Bunuhlah oleh kalian setiap tukang sihir laki-laki dan perempuan."
Bujalah melanjutkan kisahnya, "Maka kami pernah membunuh tiga orang wanita
penyihir."
Asar ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya. Di
dalam asar yang sahih disebut pula bahwa Siti Hafsah Ummul Mu’minin pernah
disihir oleh seorang budak perempuannya, maka Siti Hafsah memerintahkan agar
budak tersebut dihukum mati; lalu si budak perempuan itu pun dihukum mati.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, di dalam asar sahih dari ketiga orang
sahabat Nabi Saw. disebutkan bahwa penyihir dihukum mati.
Imam Turmuzi meriwayatkan melalui hadis Ismail ibnu Muslim, dari Al-Hasan,
dari Jundub Al-Azdi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«حَدُّ
السَّاحِرِ ضَرْبُهُ بِالسَّيْفِ»
Hukuman had bagi penyihir ialah dipukul dengan pedang (dihukum
mati).
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa kami tidak mengenal hadis ini secara
marfu’ kecuali hanya dari segi ini. Ismail ibnu Muslim orangnya da'if dalam
periwayatan hadis. Adapun yang sahih ialah yang dari Al-Hasan ibnu Jundub secara
mauquf.
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Tabrani melalui segi
lain, dari Al-Hasan, dari Jundub secara marfu’
Telah diriwayatkan melalui berbagai jalur bahwa Al-Walid ibnu Uqbah pernah
mempunyai seorang tukang sihir untuk memainkan ilmu sihir di hadapannya.
Permainan sihir yang ditampilkannya itu ialah dia menebas batang leher
seseorang, kemudian si penyihir itu membawa kepalanya seraya berteriak-teriak,
setelah itu ia mengembalikan lagi kepada si lelaki yang dipancungnya itu. Maka
orang-orang berkata, "Mahasuci Allah Yang Menghidupkan kembali orang-orang yang
mati!"
Kejadian tersebut dilihat oleh seorang lelaki saleh dari kalangan kaum
Muhajirin. Pada keesokan harinya ia datang dengan menyandang pedangnya,
sedangkan si penyihir itu seperti biasa memainkan permainannya. Lalu lelaki
Muhajirin itu mencabut pedangnya dan langsung dipukulkan ke leher si penyihir
tersebut, kemudian berkata, "Sekiranya dia benar, niscaya dia dapat menghidupkan
dirinya sendiri." Lalu ia membacakan firman-Nya:
أَفَتَأْتُونَ
السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ
maka apakah kalian menerima sihir itu, padahal kalian menyaksikannya?
(Al-Anbiya: 3)
Maka Al-Walid murka karena lelaki Muhajirin tersebut tidak meminta izin lebih
dahulu kepadanya dalam tindakannya itu. Lalu Al-Walid memenjarakannya, kemudian
melepaskannya.
Imam Abu Bakar Al-Khalal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah
ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan
kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq, dari
Harisah yang menceritakan asar berikut: Pernah di hadapan seorang Amir ada
seseorang yang memainkan ilmu sihirnya, lalu datanglah Jundub seraya membawa
pedangnya, maka Jundub membunuh lelaki penyihir itu, lalu ia berkata, "Menurutku
dia adalah tukang sihir."
Imam Syafii rahimahullah menginterpretasikan kisah sihir yang terjadi di masa
Khalifah Umar dan yang dialami oleh Siti Hafsah sebagai perbuatan musyrik.
Fasal
Abu Abdullah Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan apa yang
dikatakan oleh golongan Mu'tazilah, bahwa mereka mengingkari keberadaan sihir.
Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, "Barangkali mereka mengafirkan orang yang
meyakini keberadaan sihir itu."
Selanjutnya Ar-Razi mengatakan, "Adapun menurut ahli sunnah, sesungguhnya
mereka berpendapat bahwa bisa saja seorang ahli sihir dapat terbang di udara,
atau mengubah rupa manusia menjadi keledai dan rupa keledai menjadi manusia.
Hanya saja mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Allah menciptakan hal-hal
tersebut di saat seorang penyihir membacakan mantera-mantera dan jampi-jampi
tertentu. Adapun bila dikatakan bahwa hal yang mempengaruhi kejadian-kejadian
tersebut karena pengaruh falak dan bintang-bintang, maka hal tersebut tidak
mungkin; berbeda halnya dengan pendapat ahli filsafat dan ahli peramal serta
para pemeluk agama Sabi'ah."
Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengemukakan dalil yang menyatakan bahwa
terjadinya sihir itu adalah karena ciptaan Allah Swt, yaitu firman Allah Swt.
yang mengatakan: Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan
sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. (Al-Baqarah: 102)
Sedangkan dalil dari hadis antara lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
pernah disihir, dan bahwa sihir sempat mempengaruhinya. Juga kisah Siti Aisyah
r.a. bersama seorang wanita yang datang kepadanya mengakui bahwa dirinya pernah
belajar sihir. Banyak lagi kisah lainnya yang ia kemukakan dalam bab ini.
Setelah itu Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan hal berikut:
Ilmu sihir bukan merupakan hal yang buruk, bukan pula hal yang dilarang.
Ulama ahli tahqiq sepakat menyatakan hal tersebut, mengingat ilmu itu ditinjau
dari eksistensinya merupakan hal yang mulia, juga karena pengertian umum yang
terkandung di dalam firman-Nya:
قُلْ
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9)
Karena ilmu sihir itu kalau tidak diketahui, niscaya tidak mungkin dapat
dibedakan antara sihir dan mukjizat. Sedangkan ilmu yang me-untun untuk
mengetahui sesuatu sebagai mukjizat adalah wajib, dan sesuatu yang menjadi
sandaran bagi hal yang wajib hukumnya wajib pula. Maka dari hal ini tersimpul
bahwa mengetahui ilmu sihir hukumnya wajib, sedangkan sesuatu yang wajib itu
tidak mungkin dapat dikatakan sebagai hal yang haram atau buruk. Demikianlah
konteks dari pendapat Abu Abdullah Ar-Razi dalam masalah ini.
Pendapat ini masih perlu dipertimbangkan dari berbagai segi, antara lain ia
mengatakan bahwa mengetahui ilmu sihir bukan merupakan hal yang buruk. Jikalau
yang dimaksud dengan kalimat ini ialah tidak buruk menurut rasio, maka
orang-orang yang menentang pendapat ini dari kalangan golongan Mu'tazilah sudah
pasti sangat tidak setuju dengan pendapat ini. Jika yang dimaksud ialah tidak
buruk menurut penilaian syara' (agama), berarti di dalam ayat ini terkandung
pengertian yang mempropagandakan belajar ilmu sihir. Sedangkan di dalam kitab
sahih disebutkan oleh salah satu hadisnya:
«مَنْ
أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى
مُحَمَّدٍ»
Barang siapa yang datang kepada tukang ramal atau tukang tenung, maka
sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) kepada kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan
kepada Muhammad.
Di dalam kitab-kitab Sunan disebutkan sebuah hadis yang mengatakan:
«مَنْ
عَقَدَ عُقْدَةً وَنَفَثَ فِيهَا فَقَدْ سَحَرَ»
Barang siapa membuat suatu buhul, lalu ia meniupkan napasnya pada buhul
itu, maka sesungguhnya dia telah mengerjakan sihir.
Dalam menanggapi perkataan Abu Abdullah Ar-Razi yang menyatakan, "Tiada
larangan, para ulama ahli tahqiq sepakat atas hal ini," timbul suatu pertanyaan
'mengapa ilmu sihir itu tidak dilarang, padahal ayat dan hadis yang telah kita
kemukakan mengecamnya?'. Kesepakatan ulama ahli tahqiq —seperti yang
dikatakannya— menuntut adanya bukti berupa nas dalam masalah ini dari beberapa
orang ulama atau dari kebanyakan mereka, lalu manakah nas-nas mereka yang
menunjukkan adanya kesepakatan tersebut?
Mengenai pendapat Abu Abdullah Ar-Razi yang memasukkan ilmu sihir ke dalam
pengertian umum firman Allah Swt. yang mengatakan: Katakanlah, "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui"
(Az-Zumar: 9)
Hal ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, mengingat ayat ini hanyalah
menunjukkan makna memuji orang-orang yang alim dalam ilmu syariat Lalu mengapa
dia sampai berani mengatakan bahwa ilmu sihir adalah bagian dari syariat, dan
bahkan ia mengangkat ilmu sihir kepada kategori ilmu yang wajib dipelajari,
dengan alasan untuk mengetahui mukjizat tidak dapat dilakukan melainkan dengan
mengetahui ilmu sihir. Alasan ini sangat lemah, bahkan dapat dikatakan batil.
Dikatakan demikian karena mukjizat yang paling agung dari Rasul kita ialah
Al-Qur'anul 'Azim yang tidak datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun
dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha
Terpuji.
Kemudian perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya untuk mengetahui sesuatu
sebagai mukjizat, pada prinsipnya tidak bergantung kepada pengetahuan ilmu
sihir. Sebagai bukti yang akurat ialah para sahabat, para tabi'in, dan para imam
kaum muslim serta kalangan awam; mereka mengetahui hal yang mukjizat, mereka pun
dapat membedakan antara mukjizat dan sihir, sekalipun mereka tidak mempunyai
pengetahuan tentang ilmu sihir. Dengan kata lain, mereka tidak pernah
mempelajarinya, tidak pula mengerjakannya.
Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi menyebutkan bahwa ilmu sihir itu ada delapan
macam:
-
Sihir orang-orang pendusta dan kaum Kasydani (yaitu mereka yang menyembah tujuh bintang yang beredar). Mereka mempunyai keyakinan bahwa bintang-bintang tersebutlah yang mengatur alam ini, dan bintang-bintang itulah yang mendatangkan kebaikan dan kejahatan. Mereka adalah kaum yang diutus kepada mereka Nabi Ibrahim a.s. Khalilullah (kekasih Allah) a.s. untuk membatalkan pendapat mereka dan mematahkan hujah mereka. Sehubungan dengan masalah ini telah diadakan suatu penelitian yang membuahkan karya tulis —seperti kitab Sirrul Maktum fi Mukhatabatisy Syamsi wan Nujum— yang dinisbatkan kepada apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim a.s. pada permulaan perkaranya, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khalkan dan lain-lainnya. Menurut suatu pendapat, Ibnu Khalkan telah bertobat atas karya tulisnya itu. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sesungguhnya Ibnu Khalkan menulis hal tersebut dengan maksud menonjolkan keutamaannya, bukan bermaksud meyakininya. Memang tanggapan inilah yang disangkakan kepadanya, hanya dia menyebutkan dalam kitabnya itu cara mereka berdialog dengan masing-masing dari ketujuh bintang tersebut; disebutkan pula cara-cara yang mereka lakukan serta upacara ritual yang diada-adakan mereka terhadap bintang-bintang tersebut.
-
Sihir yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilusi dan jiwa yang kuat. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengetengahkan alasan yang membuktikan ilusi mempunyai pengaruh, bahwa seorang manusia dapat saja berjalan di atas jembatan yang diletakkan di atas permukaan tanah, sedangkan ia tidak dapat berjalan di atasnya bila jembatan diletakkan memanjang di atas sungai atau lainnya. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, para tabib sepakat melarang orang yang mimisan memandang kepada sesuatu yang berwarna merah, dan orang yang berpenyakit ayan dilarang memandang kepada sesuatu yang sangat menyilaukan atau sesuatu yang berputar. Hal tersebut tiada lain karena jiwa manusia diciptakan tunduk kepada ilusi-ilusinya. Ia melanjutkan perkataannya, bahwa para cendekiawan sepakat bahwa penyakit 'ain merupakan perkara yang hak (nyata). Sebagai dalilnya dapat diketengahkan sebuah hadis sahih yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Penyakit 'ain itu hal yang hak. Sekiranya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, niscaya penyakit 'ain dapat mendahuluinya. (Shahih: Muslim 2188) Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, "Apabila Anda mengetahui hal ini, maka kami katakan bahwa jiwa yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya kuat sekali. Untuk itu dalam merealisasikan perbuatan-perbuatan itu ia tidak memerlukan bantuan sarana atau alat bantu lainnya. Adakalanya jiwa itu lemah, maka untuk merealisasikannya ia memerlukan sarana-sarana tersebut." Hakikat hal tersebut ialah bahwa jiwa manusia apabila lebih tinggi daripada tubuh kasarnya, maka ia sangat cenderung kepada alarn samawi; hingga jadilah ia seakan-akan roh samawi, dan ia mempunyai kekuatan yang menakjubkan untuk mempengaruhi semua unsur dari alam kasar ini. Tetapi apabila jiwa seseorang lemah dan cenderung bergantung kepada tubuh kasamya, maka saat itu ia tidak mempunyai pengaruh sama sekali kecuali hanya dalam tubuh kasar-nya saja. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi memberikan petunjuk untuk mengobati penyakit 'ain ini dengan cara mengurangi makan, menjauh dari manusia, dan membebaskan diri dari riya (pamer). Menurut kami, apa yang diisyaratkan oleh Abu Abdullah ini termasuk ke dalam pengertian indera yang keenam atau lasarruf bil hal. Hal ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu adakalanya termasuk dari jenis yang benar lagi diakui oleh syariat. Pemiliknya menggunakannya untuk hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Indera jenis ini merupakan anugerah dari Allah Swt. dan merupakan karamah bagi orang-orang saleh dari kalangan umat ini. Jenis ini sama sekali bukan dinamakan sihir menurut penilaian syara'. Adakalanya keadaan yang dialami oleh pemiliknya batil serta pemiliknya tidak mengerjakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, dan ia tidak menggunakan bakatnya itu untuk keperluan tersebut. Jenis inilah yang dialami oleh orang-orang celaka, yaitu mereka yang menyimpang dari syariat, serta keadaan yang dialaminya itu tidak menunjukkan bahwa mereka menerimanya sebagai anugerah dari Allah dan tidak menunjukkan pula bahwa Allah mencintai mereka. Perihalnya sama dengan apa yang dimiliki oleh Dajjal; dia mempunyai banyak hal yang bertentangan dengan hukum alam, seperti yang dijelaskan oleh banyak hadis. Akan tetapi, sekalipun demikian hal tersebut tercela menurut penilaian syara'; semoga laknat Allah tetap atas dirinya. Demikian pula keadaan orang-orang yang menyerupai Dajjal dari kalangan mereka yang dianugerahi bakat ini, tetapi bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Pembahasan mengenai masalah ini memerlukan keterangan yang panjang, dan kitab ini bukan tempat untuk membahasnya.
-
Termasuk ke dalam kategori sihir ialah meminta bantuan kepada arwah yang ada di bumi, yakni makhluk jin. Berbeda dengan pendapat para ahli filsafat dan golongan Mu'tazilah; mereka berpendapat bahwa jin itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu jin yang mukmin dan jin kafir (yakni setan). Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, menghubungi arwah jenis ini lebih mudah ketimbang menghubungi arwah samawi, mengingat adanya kesamaan dan hubungan yang berdekatan di antara keduanya. Kemudian orang-orang yang ahli dalam bidang ini dan banyak melakukan percobaan telah menyaksikan bahwa berhubungan dengan arwah ardiyyah dapat dilakukan hanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang mudah lagi tidak banyak, seperti membaca mantera, dupa, dan jampi-jampi. Jenis ini dinamakan 'azaim atau menundukkan makhluk jin.
-
Termasuk ke dalam ilmu sihir ialah tipuan melalui ilusi, membalikkan pandangan mata, serta sulap. Dasar jenis ini ialah bahwa mata itu adakalanya keliru dan sibuk dengan sesuatu yang tertentu sehingga melupakan yang lainnya. Tidakkah Anda melihat bahwa seorang pesulap yang cerdik kelihatan oleh kita sedang melakukan sesuatu yang menakjubkan penglihatan orang-orang yang menontonnya hingga semua pandangan mata mereka tertuju kepadanya. Tetapi bila semua perhatian mereka tertuju kepada sesuatu yang dilakukannya itu, maka si pesulap melakukan hal yang lain secepat kilat, hingga yang tampak di mata mereka adalah sesuatu yang berbeda dengan apa yang mereka tunggu-tunggu, dan akhirnya mereka merasa takjub sekali dengan perbuatan si pesulap itu. Sekiranya si pesulap itu diam dan tidak mengatakan hal-hal yang memalingkan perhatian para penontonnya kepada lawan dari perbuatan yang hendak dilakukannya itu, serta jiwa dan ilusi para penontonnya tidak memperhatikan apa yang hendak diperbuatnya, niscaya penonton akan mengerti semua perbuatan yang dilakukannya. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, setiap kali keadaan mendukung pengurangan pandangan mata secara baik, maka hasil sulap makin bertambah baik. Misalnya si pesulap duduk di tempat yang terang sekali atau di tempat yang gelap, maka pandangan mata penonton kurang prima terhadap dirinya bila keadaannya demikian. Menurut kami, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa sesungguhnya sihir yang dilakukan di hadapan Raja Fir'aun tiada lain termasuk ke dalam Bab "Sulap". Karena itu, Allah Swt. berfirman di dalam Kitab-Nya: Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan banyak orang itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Al-A'raf: 116) Dan firman Allah Swt.: terbayang di mata Musa karena pengaruh dari sihir mereka se-akan-akan tali dan tongkat itu merayap cepat. (Thaha: 66) Sebagian kalangan ahli tafsir mengatakan bahwa tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut pada hakikatnya tidak merayap.
-
Termasuk perbuatan sihir ialah reaksi-reaksi ajaib yang timbul dari penyusunan berbagai alat yang disusun menurut bentuk handasah, misalnya berbentuk seperti seorang yang menunggang kuda, sedangkan tangannya memegang sebuah genderang; apabila lewat suatu saat dari siang hari (satu jam), maka genderang itu dipukulnya tanpa ada seorang pun yang menyentuhnya. Termasuk ke dalam kategori jenis ini ialah patung-patung yang dibuat oleh bangsa Romawi dan bangsa India hingga orang yang melihatnya tidak dapat membedakan antara patung dan manusia yang sungguhannya, hingga mereka mampu membuatnya dalam rupa sedang tertawa dan sedang menangis. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan bahwa segi-segi ini termasuk kelembutan dari hal-hal yang bersandar kepada ilusi. Ia mengatakan pula bahwa sihir yang dilakukan oleh tukang sihir Raja Fir'aun termasuk ke dalam kategori jenis ini. Dari pendapat yang dikatakan oleh sebagian ahli tafsir sehubungan dengan sihir yang disajikan oleh tukang-tukang sihir Raja Fir'aun, kami simpulkan bahwa sesungguhnya mereka terlebih dahulu mempersiapkan tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut, sebelumnya mereka isi terlebih dahulu dengan air raksa. Karena itu, setelah semuanya dilepaskan, maka benda-benda itu meliuk-liuk bergerak karena pengaruh dari air raksa tersebut. Maka terbayang di mata para penontonnya seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut berjalan cepat dengan sendirinya. Ar-Razi mengatakan, termasuk ke dalam bab ini ialah bangunan jam pasir (tabling kaca untuk mengukur waktu, berdasarkan aliran suatu bahan berupa pasir dan sebagainya pada zaman dahulu. red.), demikian pula ilmu menarik barang yang berat dengan alat yang ringan. Menurut kami, pada hakikatnya jenis ini tidak pantas dikategorikan sebagai sihir, mengingat kejadiannya dapat diketahui melalui penyebab-penyebab yang telah dimaklumi dan pasti. Untuk itu barang siapa yang memahaminya, niscaya ia dapat melakukannya. Menurut kami, termasuk ke dalam bab ini (yang penyebabnya jelas) ialah tipu muslihat yang dilakukan oleh orang-orang khusus Nasrani terhadap kalangan awam mereka, melalui cahaya api yang diper-lihatkan kepada kalangan awam, seperti kasus yang terjadi di suatu gereja milik mereka di kota Baitul Maqdis. Mereka melakukan tipu muslihat melalui hal tersebut dengan cara memasukkan api secara sembunyi-sembunyi ke dalam gereja, lalu lentera besar gereja tersebut dinyalakan melalui cara yang lembut (samar) hingga memperdaya kalangan orang-orang awam mereka. Adapun bagi kalangan khusus mereka, hal tersebut sudah diketahuinya, tetapi mereka mencari-cari alasan untuk menyembunyikan rahasia itu, bahwa hal tersebut dapat dijadikan sarana untuk mempersatukan teman-teman seagama mereka, maka mereka memandang perbuatan tersebut sebagai hal yang diperbolehkan. Perihalnya sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang tolol lagi bodoh dari kalangan aliran Karamiyah, yaitu mereka yang memperbolehkan membuat hadis dalam masalah targib dan tarhib. Mereka itu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang diancam oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya: Barang siapa yang berdusta dengan sengaja mengatasnamakan diriku, maka hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat du-duknya di neraka. Sabda Rasulullah Saw. lainnya yang mengatakan: Ceritakanlah hadis dariku, tetapi janganlah kalian berdusta terhadap diriku, karena sesungguhnya orang yang berdusta terhadapku pasti masuk neraka. Kemudian dalam bab ini ia menyebut sebuah kisah dari salah seorang rahib (pendeta). Bahwa pada suatu hari ia mendengar suara seekor burung yang mengeluarkan suara sedang sedih, dan lemah gerakannya. Apabila suara itu terdengar oleh burung lainnya, burung-burung lain merasa kasihan kepadanya. Kemudian mereka pergi dan datang lagi dengan membawa buah zaitun, lalu mereka lemparkan zaitun itu ke sarang burung yang sedang sedih tersebut agar dimakannya. Lalu rahib ini sengaja membuat sebuah boneka yang bentuknya mirip dengan burung yang sedang menderita itu, kemudian ia menjadikan boneka burungnya itu berlubang pada bagian dalamnya; apabila ada angin yang memasuki rongga tersebut, akan keluarlah darinya suara seperti suara burung yang sedang menderita itu. Kemudian ia tinggal di dalam gereja yang dibangunnya yang ia duga berada di atas kuburan salah seorang yang saleh dari kalangan mereka. Lalu ia menggantungkan boneka burungnya itu di salah satu tempat dari gerejanya. Apabila musim buah zaitun tiba, ia membuka sebuah jendela yang berhadapan dengan arah burung buatannya itu, hingga masuklah angin dan meniup boneka burungnya dan keluarlah suara darinya. Suaranya itu terdengar oleh burung-burung lain yang rupanya sejenis dengan boneka burung itu, lalu mereka berdatangan dengan membawa buah zaitun yang banyak jumlahnya. Orang-orang Nasrani tidak melihat hal yang lain kecuali adanya buah zaitun tersebut di dalam gerejanya, tanpa mereka ketahui sebab-musababnya; hingga mereka teperdaya, dan mereka menduga bahwa hal tersebut termasuk keramat dari pemilik kuburan yang ada di dalam gereja itu. Semoga laknat Allah menimpa mereka berturut-turut hingga hari kiamat nanti.
-
Termasuk ke dalam perbuatan sihir ialah menggunakan sarana bantuan berupa obat-obatan, yakni dalam berbagai macam makanan dan minyak-minyakan. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, perlu diketahui bahwa sesungguhnya tiada jalan untuk mengingkari bahan-bahan yang khusus, mengingat pengaruh magnetis memang dapat disak-sikan. Menurut kami, termasuk ke dalam kategori ini apa yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang menamakan dirinya fakir. Dia menipu kalangan awam dari manusia dengan memakai sarana bahan-bahan khusus ini, lalu mengaku bahwa hal ini terjadi karena akibat pengaruh dari seringnya dia bergaul dengan api dan memegang ular beracun serta lain-lainnya yang termasuk ke dalam bagian ini.
-
Termasuk ke dalam sihir ialah mempengaruhi hati orang lain. Misalnya seorang penyihir mengakui bahwa dirinya mengetahui Ismul A'zam. Bahwa jin taat serta tunduk kepadanya dalam berbagai hal; apabila propagandanya itu secara kebetulan didengar oleh orang yang lemah akalnya dan tidak dewasa, niscaya ia menduga bahwa si penyihir itu benar, lalu hatinya bergantung kepadanya, dan terjadilah di dalam hatinya suatu perasaan takut dan khawatir terhadap si penyihir itu. Apabila telah terjadi rasa takut dalam hatinya, lemahlah kekuatan inderanya, maka pada saat itu si penyihir dapat menguasainya dan dapat melakukan apa yang dikehendakinya. Menurut kami, jenis ini dikatakan tanbulah (hipnotis). Sesungguhnya jenis ini hanya dapat mengenai kalangan orang-orang yang lemah akalnya. Di dalam ilmu firasah terdapat pengetahuan yang menuntun untuk mengetahui orang yang berakal kuat dan orang yang berakal lemah. Apabila orang yang bersangkutan berakal cerdas dan menguasai ilmu firasah, maka dia akan mengetahui siapa di antara mereka yang taat kepadanya dan siapa yang tidak mau taat.
-
Termasuk ke dalam kategori sihir ialah melakukan namunah dan adu domba dengan menggunakan cara yang mudah lagi lembut, tidak kelihatan. Jenis ini telah terkenal di kalangan orang banyak. Menurut kami, namunah itu terbagi menjadi dua bagian; adakalanya untuk tujuan mengadu domba di antara orang-orang lain dan memecah belah hati kaum mukmin. Jenis ini jelas haram menurut kesepakatan semuanya. Jika namunah yang dilakukan untuk tujuan mendamaikan masalah di antara orang-orang lain dan untuk menyatukan serta merukunkan suara kaum muslim, seperti yang disebutkan oleh hadis berikut: Bukanlah pendusta orang yang melakukan namunah untuk kebaikan. Atau dengan tujuan untuk menghina dan memecah-belah di antara persatuan orang-orang kafir, maka hal ini merupakan perkara yang dianjurkan, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis berikut: Perang itu tipu muslihat. Juga seperti apa yang dilakukan oleh Nu'aim ibnu Mas'ud ketika ia memecah-belah persatuan golongan-golongan yang bersekutu dengan Bani Quraizah. Nu'aim datang kepada salah satu pihak dari kedua golongan itu, lalu ia menceritakan kepada mereka apa yang dikatakan oleh golongan lainnya tentang diri mereka. Kemudian ia menyampaikan kepada golongan lainnya kata-kata yang lain dari golongan yang pertama, lalu ia adu dombakan di antara kedua golongan tersebut hingga mereka saling mencurigai dan pecahlah persatuan mereka. Sesungguhnya orang yang dapat melakukan hal seperti ini hanyalah orang-orang yang mempunyai kecerdasan dan pandangan yang tajam. Akhirnya hanya kepada Allah-lah kami memohon pertolongan.
Selanjutnya Ar-Razi berkata, demikianlah pembagian sihir dan penjelasan serta
tingkatannya secara global.
Menurut kami, sesungguhnya telah dimasukkan ke dalam kategori sihir banyak
hal yang telah disebut di atas, tiada lain karena hal-hal tersebut sulit untuk
diketahui penyebabnya dan sangat halus. Mengingat definisi sihir menurut istilah
bahasa artinya sesuatu yang lembut dan samar penyebabnya. Untuk itu, di dalam
sebuah hadis di sebutkan:
«إِنَّ
مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا»
Sesungguhnya di antara ilmu bayan (paramasastra) itu benar-benar
mengandung (pengaruh seperti pengaruh) sihir.
Dinamakan sahur karena dilakukan pada penghujung malam hari di saat cuaca
masih gelap tak kelihatan. Sahar berarti ri-ah (paru-paru) yang merupakan
pusat pernapasan. Dinamakan demikian karena tempatnya tersembunyi dan
jaringannya lembut menyebar ke seluruh bagian tubuh dan semua syaraf. Seperti
yang dikatakan oleh Abu Jahal kepada Utbah pada hari Perang Badar, "Intafakha
saharuhu,'"' yakni paru-parunya mengembang karena dicekam oleh rasa takut
yang sangat. Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan:
تُوُفِّيَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سحري
ونحري
Rasulullah Saw. wafat di antara dada (sebelah kanan)ku dan pangkal
tenggorokanku.
Allah Swt. berfirman:
{سَحَرُوا
أَعْيُنَ النَّاسِ}
Mereka menyulap mata orang-orang. (Al-A'raf: 116)
Artinya, mereka menyembunyikan apa yang mereka lakukan dari mata orang-orang
banyak.
Abu Abdullah Al-Qurtubi mengatakan, "Menurut kalangan kami, sihir itu
merupakan perkara yang nyata." Ia mempunyai kenyataan karena Allah menciptakan
untuknya apa yang dikehendaki oleh si penyihir (sebagai istidraj, pent.).
Lain halnya dengan pendapat golongan Mu'tazilah dan Abu Ishaq Al-Isfirayini,
dari kalangan mazhab Syafi’i. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya sihir itu
adalah pengelabuan dan ilusi semata. Al-Qurtubi mengatakan, termasuk ke dalam
kategori sihir ialah sesuatu yang dilakukan dengan tangan yang cepat seperti
permainan sulap. Ibnu Faris mengatakan bahwa pendapat ini bukan diutarakan oleh
penduduk pedalaman (orang kampung).
Al-Qurtubi mengatakan, termasuk ke dalam sihir ialah bacaan yang dihafal dan
melakukan ruqyah dengan menyebut asma Allah Swt. Adakalanya sihir itu merupakan
perjanjian dengan setan-setan, maka kejadiannya akan menimbulkan berbagai macam
penyakit dan kerusakan serta lain-lainnya yang berbahaya.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa sabda Rasul Saw. yang mengatakan: Sesungguhnya
di antara ilmu bayan (paramasastra) itu benar-benar mengandung (pengaruh seperti
pengaruh) sihir. Kalimat ini dapat diinterpretasikan sebagai pujian, menurut
apa yang dikatakan oleh segolongan ulama. Dapat pula diinterpretasikan sebagai
celaan terhadap ilmu balagah. Selanjutnya Al-Qurtubi memberikan komentarnya
bahwa pendapat yang terakhir inilah yang lebih sahih, mengingat dapat saja
balagah dijadikan sebagai sarana untuk membenarkan hal yang batil, sehingga
pendengarnya terpesona oleh kata-katanya dan menduganya berada di pihak yang
benar, seperti yang disebutkan oleh sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«فَلَعَلَّ
بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي
له»
Barangkali sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengutarakan alasannya
daripada sebagian yang lain. Karena itu, lalu aku memutuskan peradilan untuk
kemenangannya. Hingga akhir hadis.
Fasal
Al-Wazir Abul Muzaffar (yaitu Yahya ibnu Muhammad ibnu Hubairah) dalam
kitabnya yang berjudul Al-Isyraf 'Ala Maza Hibil Asyraf mengetengahkan
sebuah bab yang membahas masalah sihir. Ia mengatakan bahwa mereka telah sepakat
bahwa sihir itu mempunyai kenyataan, kecuali Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah
berpendapat bahwa sihir tidak ada kenyataannya.
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang belajar sihir dan
menggunakannya. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa
pelakunya menjadi kafir.
Dari kalangan murid-murid Imam Abu Hanifah ada yang mengatakan bahwa
sesungguhnya kalau seseorang belajar ilmu sihir hanya untuk pertahanan diri atau
untuk menghindarinya, hukumnya tidak kafir. Barang siapa yang mempelajarinya
dengan keyakinan bahwa sihir diperbolehkan atau sihir bermanfaat bagi dirinya,
maka ia kafir. Demikian pula orang yang meyakini bahwa setan dapat melakukan apa
saja yang dikehendakinya, maka dia kafir.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, "Apabila seseorang belajar ilmu sihir
(dan telah menguasainya), maka kami akan katakan kepadanya terlebih dahulu,
'Peragakanlah sihirmu itu kepada kami.' Jika ia memperagakan jenis sihir yang
memastikannya kafir, misalnya dia berkeyakinan seperti apa yang diyakini oleh
penduduk Babil —yakni mendekatkan diri kepada/tujuh bintang, dan bahwa ketujuh
bintang tersebut dapat memberikan apa yang dimintakan kepadanya— maka dia kafir.
Apabila sihir yang diperagakannya itu tidak menyebabkan dia kafir (maka ia tidak
kafir); tetapi jika dia meyakini bahwa belajar sihir itu boleh, maka hukumnya
kafir."
Ibnu Hubairah mempertanyakan, "Apakah seorang penyihir dibunuh hanya
semata-mata karena ia memperlihatkan sihirnya dan menggunakannya?"
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad dibunuh, dan menurut Imam Syafii serta Imam
Abu Hanifah tidak. Tetapi jika sihirnya itu telah membunuh seseorang manusia,
maka ia dibunuh menurut Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa si penyihir tidak dibunuh kecuali jika ia
melakukan perbuatannya itu (membunuh orang lain dengan ilmu sihirnya) secara
berulang-ulang, atau dia mengakui sendiri telah melakukannya terhadap seseorang
tertentu. Apabila ilmu sihir seseorang digunakan untuk membunuh, maka ia dihukum
mati sebagai hukuman had-nya menurut pendapat mereka, kecuali Imam Syafii. Imam
Syafii berpendapat bahwa bila keadaannya memang demikian, maka ia dihukum mati
sebagai qisas.
Ibnu Hubairah mempertanyakan, "Apakah dapat diterima tobat tukang sihir bila
ia bertobat darinya?" Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta Imam Ahmad menurut
pendapat yang terkenal di kalangan mereka mengatakan bahwa tobatnya tidak
diterima. Akan tetapi, Imam Syafii dan Imam Ahmad menurut riwayat yang lain
mengatakan dapat diterima tobatnya.
Tukang sihir dari kalangan ahli kitab menurut Imam Abu Hanifah dihukum mati,
sebagaimana tukang sihir muslim pun dihukum mati.
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii mengatakan tidak dihukum mati; karena
menimbang kisah Labid ibnul A'sam. Mereka berselisih pendapat mengenai wanita
muslimah tukang sihir; menurut Imam Abu Hanifah, ia tidak dibunuh melainkan
hanya dihukum penjara. Sedangkan menurut ketiga imam lainnya, hukumnya sama
dengan hukum seorang laki-laki penyihir.
Abu Bakar Al-Khalal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar
Al-Marwazi, bahwa Umar ibnu Harun pernah memba-ca (belajar) dari Abu Abdullah
(yakni Imam Ahmad ibnu Hambal) bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus, dari
Az-Zuhri yang mengatakan, "Penyihir dari kalangan kaum muslim dihukum mati,
sedangkan penyihir dari kalangan kaum musyrik tidak dihukum mati; karena
Rasulullah Saw. pernah disihir oleh seorang wanita Yahudi, ternyata beliau tidak
membunuhnya."
Imam Qurtubi menukil dari Imam Malik rahimahullah yang mengatakan bahwa
tukang sihir dari kalangan kafir zimmi dihukum mati jika sihirnya itu ia gunakan
untuk membunuh.
Ibnu Khuwaiz Mandad meriwayatkan dua buah riwayat dari Imam Malik sehubungan
dengan kafir zimmi bila mempraktikkan sihir. Salah satunya mengatakan bahwa ia
diminta bertobat terlebih dahulu. Jika ia masuk Islam, tidak dihukum; tetapi
jika tidak mau masuk Islam, maka ia dihukum mati. Pendapat kedua mengatakan
bahwa dia tetap dihukum mati, sekalipun masuk Islam.
Seorang penyihir itu apabila ilmu sihirnya mengandung kekufuran, maka ia
dihukumi kafir menurut keempat orang imam dan imam-imam lainnya, karena
berdasarkan kepada firman-Nya: sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu)
kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu).
Sebab itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102)
Tetapi Imam Malik mengatakan, "Jika kekufuran tampak pada dirinya, maka
tobatnya tidak diterima, karena kedudukannya sama dengan kafir zindiq. Jika dia
bertobat sebelum menampakkan kekufurannya, lalu ia datang kepada kami seraya
bertobat, maka kami menerimanya. Jika sihirnya itu ia gunakan untuk membunuh
orang, maka ia dibunuh (dihukum mati)."
Imam Syafii mengatakan, "Kalau si penyihir mengatakan, 'Aku tidak sengaja
membunuh,' maka ia dihukumi sebagai orang yang keliru dan diharuskan membayar
diat."
Masalah
Ada suatu pertanyaan, "Apakah penyihir boleh diminta untuk melepaskan
(mengobati) sihirnya?" Sa'id ibnul Musayyab r.a. memperbolehkannya menurut apa
yang dinukil oleh Imam Bukhari. Amir Asy-Sya'bi mengatakan, tidak mengapa
menggunakan nusyrah (pengobatan dengan memakai jampi). Akan tetapi,
Al-Hasan Al-Basri memakruhkannya.
Di dalam hadis sahih dari Siti Aisyah r.a. disebutkan bahwa ia pernah
berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak berobat dengan cara nusyrah?
Maka beliau Saw. menjawab:
«أَمَّا
اللَّهُ فَقَدْ شَفَانِي وَخَشِيتُ أَنْ أَفْتَحَ عَلَى النَّاسِ
شَرًّا»
Adapun Allah, sesungguhnya Dia telah menyembuhkan diriku, dan aku merasa
khawatir (bila memakai nusyrah) nanti aku membuka pintu kejahatan kepada
manusia.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Wahb yang mengatakan, "Hendaknya diambil tujuh
helai daun sidr, terus ditumbuk di antara dua buah batu, lalu diperas dengan
memakai air seraya dibacakan ayat Al-Kursi padanya. Kemudian airnya diminumkan
kepada orang yang terkena sihir sebanyak tiga tegukan, sedangkan sisanya
dimandikan untuknya. Sesungguhnya cara ini dapat melenyapkan sihir yang
mengenainya, dan cara ini amat baik buat lelaki yang mengobati istrinya."
Menurut kami, pengobatan yang paling bermanfaat untuk melenyapkan pengaruh
sihir ialah membacakan apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya
untuk menghilangkan hal tersebut, yaitu membaca surat Mu'awwizatain.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
«لَمْ
يَتَعَوَّذِ المتعوذ بِمِثْلِهِمَا»
Tiada suatu ta'awwuz pun yang digunakan oleh seseorang sebanding dengan
keduanya.
Demikian pula membaca ayat Kursi, karena sesungguhnya ayat Kursi itu dapat
digunakan untuk mengusir setan.
EmoticonEmoticon